View Full Version
Rabu, 27 Feb 2019

Presiden Spanduk

Oleh: M Rizal Fadillah

Di Bandung, atau mungkin daerah lain, spanduk, baliho, banner para caleg marak diberbagai tempat. Awalnya Pemkot cukup konsisten membersihkan berbagai atribut kampanye setelah beberapa hari terpasang. Kota tetap terkendali pemasangan. Tentu saja ada satu dua yang lolos, namun masih dalam batas wajar.

Tiba tiba dalam waktu cepat muncul luar biasa banyak spanduk, baliho, banner Capres/Cawapres Jokowi-Ma'ruf diberbagai tempat. Dari tiang listrik sampai pohon pohon. Pohon yang awal masih terjaga pemasangan, kini dilabrak habis oleh atribut Jokowi Ma'ruf. Ada yang satu pohon tiga gambar, saking berlebihnya. Atribut capres saingannya Prabowo Sandi tentu jauh tertinggal.

Raja spanduk datang. Adidaya tandang. Tak ada yang kuat menantang. Tentu harapan dengan itu pasti menang. Masyarakat menyimpulkan betapa besarnya modal sang petahana. Melengkapi munculnya gumpalan-gumpalan pendukung yang "berbiaya" besar. Ada seloroh di warkop jika ingin ada uang dukunglah pasangan yang beruang. Pilpres disamakan dengan "proyek" yang menghasilkan.

Andai alat peraga kampanye menjadi ukuran kemenangan, maka selesai Pilpres. Akan tetapi suara hati dan pilihan tidak melekat di spanduk atau baliho. Ia ada di harapan (hope) dan kepercayaan (thruth). Pada nurani rakyat. Makna alat peraga adalah semata pengenalan akan kandidat.

Jika kandidat Presiden dan Wakil Presiden sudah dikenal oleh rakyat maka keberadaan alat itu menjadi tidak signifikan. Siapa rakyat Indonesia yang tidak kenal Pak Jokowi atau Kyai Ma'ruf. Keduanya sudah terkenal. Bahwa kemudian figur itu dikenal baiknya atau buruknya tentulah menjadi urusan lain. Imej tak mudah diubah oleh virtualisasi alat peraga.

Mengedepankan alat peraga kampanye model spanduk, baliho, ataupun banner menyebabkan kota terasa lebih "sumpek". Dialog dan konsepsi perjuangan kontestan menjadi mundur ke belakang. Ke depan perlu difikirkan pola kampanye yang lebih baik. Tetap semarak, akan tetapi terjaga keindahan kota. Jangan sampai juga terjadi seperti atribut "ular besar" yang memakan "ular-ular kecil" sebagai efek dari raksasa permodalan yang bisa mengalahkan kualitas pemilu dan hasilnya.

Terlalu lama waktu kampanye atau sosialisasi patut untuk dievaluasi. Rekayasa bisa terjadi karena "memainkan waktu". Raksasa bisa memakan pigmi setahap demi setahap.

Kita butuh Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, bukan berkuantitas spanduk dan baliho. Kita perlu Pemimpin di bumi yang nyata, bukan virtual. Dunia nyata bukan maya atau utopia. Bukan Pemimpin yang hanya bisa bicara kerja tapi tak mampu bekerja.

Presiden spanduk adalah ujung dari ceritra masa lalu. Presiden baru tentu lebih baik dan perlu. Kita tunggu. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version