View Full Version
Selasa, 05 Mar 2019

RUU Pesantren, Politisasi Pendidikan Islam

Oleh: Azrina Fauziah (Member Komunitas Pena Langit)

Bicara tentang Rancangan undang-undang, kini RUU tak hanya sekedar RUU PKS ataupun RUU Permusikan yang sebetulnya tidaklah memiliki keurgenan dalam pengesahannya, kini RUU Pesantren belakangan tengah naik daun dijagad publik lho kawan...

Rancangan Undang-Undang untuk Pesantren dan Pendidikan Agama juga tengah digodok oleh para fraksi DPR. Tujuan adanya RUU pesantren sendiri ialah pendidikan pesantren dan keagamaan nantinya akan mempunyai dasar hukum yang kuat dalam pelaksanannya. (idntimes.com)

Selain itu pendidikan pesantren akan memiliki dasar hukum di mata negara, dilansir dari hidayatullah.com Ledia Hanifa (Ketua DPP PKS) menyatakan bahwa RUU Pesantren ini akan mengatur pula kurikulum pendidikan pesantren.

Pemerintah nantinya akan mendukung pendidikan pesantren dari pengelolaan dana pesantren dengan kesiapan sarana dan prasarannya, juga mengatur perizinan pembangunan pondok pesantren baru sebelum masyarakat hendak membangun pondok pesantren. Hal ini tentu akan memberikan keuntungan pada pengembangan pendidikan di pondok pesantren dan dapat memberikan pelayanan dan keamanan bagi santriwan dan santriwati seperti pendidikan formal dalam pembelajaran, tentunya berlandaskan dengan Pancasila dan NKRI.

 

Polemik RUU Pesantren

RUU Pesantren memang seolah menjadi hadiah terbaik bagi keluarga pesantren pasca penetapan hari santri nasional namun taukah engkau kawan dibalik RUU Pesantren ini ia memiliki banyak polemik.

Contoh saja penyampaian Ketua DPP PKS Ledia Hanifa tentang kurikulum pendidikan pesantren akan diatur oleh pemerintah padahal pada faktanya model pembelajaran di pondok pesantren pun berbeda-beda basicnya.

Dari pondok pesantren tahfidz yang fokus menghafal al Qur’an, pondok pesantren salaf yang memberikan pendidikan mengkaji kitab gundul berbahasa arab, pondok pesantren Qari dan Qariah yang fokus memberikan pembelajaran melantunkan al Qur’an yang baik dan indah, pondok pesantren seni kaligrafi yang fokus dengan kaligrafi, serta ada pula pesantren entrepreneur dan mualaf yang tentu juga fokus dengan nama yang diberikan pondok pesantren tersebut.

Lalu akan seperti apa model kurikulum pendidikan pesantren mendatang bila model pondok pesantren yang beragam disatu padukan?

Pada faktanya keberagaman model pesantren ini tak bisa diseragamkan begitu saja, sebab tujuan pendirian pondok sesuai dengan tujuan pembelajaran semula. Selain itu, pada dasarnya lama umur pondok pesantren telah melebihi umur negeri ini bahkan pondok pesantren telah banyak menghasilkan SDM yang berkompeten dalam pengembangan kepribadian islam di tengah masyarakat sejak lama. Namun mengapa beberapa tahun ini pada kepimpinan Presiden Jokowi, ia sangat getol untuk meresmikannya sebelum jabatannya berakhir. Hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita bersama bukan?

Segeranya pengesahan RUU Pesantren pun menunjukkan bahwa seolah RUU Pesantren ini terburu-buru dan terlihat serabutan untuk disahkan dan dilaksanakan. Maka jika kita menilik kembali try record pesantren, kita akan mendapati bahwa pesantren merupakan wadah pendidikan agama islam yang memiliki kompetensi yang memadai serta mencetak generasi-generasi islami yang juga memiliki kompetensi agama yang cukup baik. Para lulusannya tidak diragukan oleh masyarakat, banyak yang akhirnya mencurahkan ilmu dan tenaganya dalam pembangunan serta pengabdian di masyarakat. Sehingga pesantren yang telah berumur lebih dari 73 tahun dipercaya mencetak generasi rabbani hingga kini.

Tentu basis masa yang dimilikipun tak tanggung-tanggung, apabila sang pemimpin pesantren berkata sesuatu, tentu di masa depan akan diikuti oleh sang generasi yang sedang menuntut ilmu di pesantren tersebut. Maka jelas bila kurikulum pesantren nantinya akan diseragamkan oleh negera maka sangat wajar bila santriwan dan santriwati pun akan mendapati kurikulum yang tentu dinginkan oleh negara yakni sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Maka wajar saja bila pendidikan agama di pesantren akan lebih mudah dipolitisasi oleh kepentingan politik yang sedang di pegang oleh negara seperti tahun-tahun politik ini. maka wajar saja bila petahanan dan para pengusungnya sangat getol dalam memperjuangkan RUU Pesantren ini sebelum nantinya jabatan petahanan telah usai.

Bila mana tak sesuai dengan kurikulum yang dibentuk oleh negara maka bisa jadi hal ini menjadikan negara dapat menutup dan memperhentikan kegiatan pembelajaran pada pondok pesantren tersebut. Dapat saja negara memojokkan pesantren tersebut dengan stigma negatif radikalisme bahkan menyatakan bahwa tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta NKRI.

RUU Pesantren tentu sangatlah sarat akan kepentingan segolongan dalam menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Maka sejatinya pengesahan RUU Pesantren ini selain hendak memberikan peluang politisasi juga memberikan citra baik akan pluralisme dalam benak warga negara namun belakangan juga pihak PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) menolak adanya RUU Pesantren dan Pendidikan Agama sebab Sekolah Minggu dan Katekisasi yang diatur di dalamnya tak sesuai dengan pemahaman ajaran mereka dan menyamakan dengan pendidikan pesantren.

Padahal sangat jelas Pendidikan Pesantren dan Sekolah Minggu sangatlah berbeda. “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al Kafirun:6)

Menilik dari hal tersebut tentu hal ini adalah cerminan akan nilai-nilai sekuler dalam kehidupan berpolitik dalam negara kita. Masihkan kita mempercayai kepemimpinan sekuler yang menghalalkan segala cara serta mencitrakan kebaikan padahal ia sangatlah busuk demi  meraih kekuasaan. tidakkah kita rindu kepemimpinan islam yang sejatinya tidak akan sarat dengan kepentingan yang menguntungkan segolongan pihak?

“Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurusi rakyat, mati pada hari dia menipu (menghianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)


latestnews

View Full Version