Oleh: M Rizal Fadillah
Pilpres semakin dekat. Fasilitasi terasa jomplang. Calon pelawan menghadapi kesulitan termasuk akses pendanaan yang juga "ditutup". Sementara calon petahana memiliki fasilitas yang bukan saja memadai tapi berlimpah.
Sejak awal dengan tidak melepas jabatan sebagai Presiden, Jokowi memiliki modal besar luar biasa. Peluang berpolitik secara licik sangat terbuka. Akses luas dan leluasa. Pertarungan menjadi tak seimbang karena proteksi politik dan hukum bagi petahana. Mobilisasi bisa dilakukan.
Dengan baju Presiden, kandidat bisa berkampanye di kampus dengan bahasa membuka ini dan itu. Bisa di Masjid membagi ini dan itu. Di jalan bagi amplop ini dan itu. Menggunakan fasilitas negara ini dan itu. Menggerakan birokrasi, aparat, serta ASN sampai tingkat kecamatan dan kelurahan sini dan situ.
Pelanggaran kampanye mudah ditepis dengan status sebagai Presiden bukan Calon. Yang calon kan cuma Prabowo. Laporan keberatan masyarakat diajukan kepada Bawaslu, akan tetapi Bawaslu bingung (baca takut) karena yang diadukan bukan Capres melainkan Presiden. Mengerikan jika Bawaslu mesti berhadapan dengan Bapak Presiden. Inkompeten yang menyebabkan impoten.
Pendekatan mobilisasi dengan memanipulasi jabatan adalah bagian dari kecurangan. Ini sedang berjalan di depan mata. Mata masyarakat awam, mata politisi, mata akademisi, mata aparat negara, mata najwa sampai mata-mata mancanegara. Mata satu bajak laut dan dajjal pun mungkin bisa melihat kecurangan kasat mata ini.
Mobilisasi berangkat bukan dari kesadaran tapi paksaan. Otoritas bisa menekan dengan cara kasar maupun halus dan tersistematisasi. Bila dasarnya kesadaran dan kesukarelaan maka itu namanya partisipasi. Mobilisasi adalah pendidikan buruk dalam politik, meski minta dimaklum pada praktek politik di negara yang serba boleh dan "halal".
Pada hakekatnya mobilisasi adalah musuh demokrasi. Kekuasaan yang berwarna mobilisasi membawa pada apa yang disebut dengan negara "gerombolan" atau dikenal dengan "mobokrasi". Kita harus waspada terhadap pergerakan dan penggeseran sistem kenegaraan dari "demokrasi" menjadi "mobokrasi".
Ke depan sangat serius untuk mengatur tegas status Presiden yang maju sebagai kandidat untuk "melepas" dahulu jabatannya. Aneh, ironi, dan dramatis jika seorang Walikota/Bupati atau Gubernur yang menjadi kandidat diharuskan berhenti dahulu akan tetapi Presiden tidak. Konflik kepentingan dan manipulasi serta ketidakadilan pasti terjadi. Pasti sekali.
Semoga negara ini masih diinginkan oleh rakyatnya untuk tetap berada di alur demokrasi, bukan otokrasi atau mobokrasi. Karenanya bagi perilaku menyimpang hanya ada satu kata : Lawan..!.