Oleh: Asyari Usman
Dalam tulisan yang berjudul “Piala Presiden 2019: Piala Suka-suka Jokowi”, pengamat olahraga Rahmi Aries Nova memperingatkan bahwa perhelatan ini jelas bermuatan dan bermotifkan politik. Menurut Rahmi, Piala Presiden 2019 hanya akal-akalan kubu Jokowi. Lebih-kurang, mereka ingin memanfaatkan ajang sepakbola untuk mendulang elektabilitas.
Tetapi, yang terjadi sebaliknya. Upaya ‘politisasi’ sepakbola berubah menjadi ‘kualatisasi’. Jokowi kualat. Sekarang, Piala Presiden yang jelas diciptakan dengan tujuan yang bisa dibaca, alias tujuan yang culas, berbalik merugikan Jokowi. Dia sekarang dihantui oleh Piala Presiden yang dimunculkan dengan segala keanehan itu.
Jokowi tak berani datang membuka Piala Presiden yang dia buat sendiri itu. Dia takut nama “Prabowo” yang akan diteriakkan oleh penonton di stadion. Ketakutan ini sangat beralasan. Sebab, dalam pertandingan antara Persib Bandung lawan Arema FC pada 18 Februabri 2019, stadion yang sama, Gubernur Ridwan Kamil diteriaki “Prabowo, Prabowo”.
Sangat masuk akal kalau Jokowi tak mau datang membuka Piala Presiden pada 2 Maret 2019 itu. Tak kuat mental mendengarkan gema teriakan nama Prabowo. Bisa pecah stadion Si Jalak Harupat kalau beliau hadir. Pecah dengan teriakan nama Prabowo.
Kelihatannya Ridwan Kamil memberikan masukan ke Jokowi agar tak jadi membuka turnamen Piala Presiden 2019. Pasti berisiko besar disoraki yel-yel “Prabowo, Prabowo”.
Inilah contoh ketamakan politik. Sepakbola dijadikan ajang pencitraan. Dan turnamen Piala Presiden itu memang sangat politis. Sebab, turnamen Piala Indonesia saja dihentikan di babak delapan besar karena musim kampanye pilpres ini.
Hampir tidak ada alasan untuk melaksanakan Piala Presiden mulai 2 Maret 2019 hingga 12 April 2019. Ditutup hanya seminggu menjelang hari H pilpres, 17 April. Untuk apa? Apa urgensi Piala Presiden harus diselenggarakan dalam rentang waktu yang semua orang sedang konsentrasi mengiktui hiruk-pikuk politik?
Piala Indonesia saja distop. Tapi, hebatnya, semua pihak serentak memberikan izin penyelenggaraan Piala Presiden.
Padahal, seperti ditulis Rahmi, Piala Presiden belum bisa disebut turnamen tetap. Lihat catatan sejarahnya. Pertama kali dilaksanakan pada Juli-Agustus 2015 setelah FIFA (Federasi Persatuan Sepakbola Internasional) menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia.
Tahun 2016 Piala Presiden absen. Pada 2017 dilaksankan, tetapi dianggap bukan turnamen yang serius. Begitu juga 2018.
Pada 2019 ini sebetulnya tidak ada rencana penyelenggaraan Piala Presiden. Sebab, sudah ada Piala Indonesia yang seharusnya selesai akhir Maret. Tapi, dengan kesewenangannya, Jokowi melaksanakan juga Piala Presiden yang akan dia tutup pada 12 April itu.
Sekarang, Jokowi menjadi “jantungan” sendiri. Takut diteriaki nama Prabowo kalau dia hadir di stadion. Mungkin dia sekarang menyesal membuat Piala Presiden itu. Yang kini menjadi bumerang.
Turnamen yang akhirnya dijuarai oleh Prabowo FC. Prabowo Fans Club.
(Penulis adalah wartawan senior)