Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), akan menembak warga sipil non-Papua yang tidak mau meninggalkan Kabupaten Nduga per tanggal 23 Februari 2019. Hal ini dikarenakan mereka dianggap oleh TPNPB sebagai anggota TNI / Polri yang menyamar.
Satu dari tujuh ultimatum yang disampaikan pentolan TPNPB-OPM Egianus Kogeya melalui media sosial Facebook TPNPB pada Sabtu 23/2 tersebut sontak membuat kondisi Papua kembali tak kondusif.
Egianus yang menyebut dirinya Panglima Kodap III Ndugama juga menegaskan bahwa TPNPB tidak akan pernah berhenti perang sampai ada pengakuan kemerdekaan Papua dari RI.
Kondisi semacam ini bukan kali pertama terjadi mengingat OPM (Organisasi Papua Merdeka) adalah organisasi separatis yang sudah berdiri sejak tahun 1965 silam. Sejarah terdekat sudah mencatat pada November 2017 lalu, gerakan separatis tersebut pernah melakukan penyanderaan terhadap sekitar 1.300 warga di Papua (BBC Indonesia 10/11/17). Berikutnya penembakan terhadap 4 pekerja di wilayah Sinak Papua dan 31 pekerja proyek jembatan di jalur Trans Papua (detikNews 4/12/18).
Rekam jejak mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua pun tidak main-main. Terbukti dengan masif dan sistematisnya propaganda serta diplomasi yang dilakukan dalam level regional Pasifik maupun internasional.
Melihat demikian dahsyatnya upaya separatis ini, sebuah tanda tanya besar mengapa konflik tersebut terus saja berlarut dan tak kunjung menemui titik akhir. Padahal sebagai sebuah negara, Indonesia tentu memiliki aparat juga sarana yang memadai untuk menumpasnya.
Tidak bisa dipungkiri, sistem sekuler yang masih saja diadopsi membuat separatisme menjadi momok menakutkan bagi keutuhan suatu negara. Sistem sekuler ini pula lah yang membuat negara tidak bisa bersikap tegas terhadap kelompok kelompok separatis yang dibacking oleh kekuatan asing. Lihat saja bagaimana OPM masih saja mampu mempertahankan regenerasi kepemimpinannya hingga hari ini.
Alih-alih melabeli terorisme, gerakan separatis yang jelas-jelas membawa disintegrasi bangsa dan teror tersebut pada akhirnya hanya disebut sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Sementara terhadap umat Islam yang bahkan masih berstatus terduga, label teroris dan eksekusi tembak mati begitu mudahnya diberikan.
Dalam pandangan Islam, menjaga persatuan kesatuan merupakan suatu kewajiban, dan memisahkan diri darinya merupakan keharaman. Oleh karenanya Islam menetapkan sanksi yang sangat tegas berupa had/perang bagi siapapun yang melakukan tindakan bughat/makar terhadap daulah/negara. Hanya saja perang disini bukan untuk dihabisi, melainkan sebagai bentuk pelajaran. Kecuali jika pelaku makar adalah non muslim.
Tidak hanya sanksi yang tegas, Islam bahkan menetapkan masalah ini sebagai qadhiyyah mashiriyyah, yaitu permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ali Ra dalam memerangi Muawiyah dalam perang shiffin.
Namun, meski tindakan tegas dengan memanfaatkan kekuatan militer dilakukan, aspek lain seperti pendekatan politik tetap tidak boleh diabaikan. Bahkan sangat penting untuk membongkar rencana jahat negera asing sekaligus untuk memadamkan api separatis.
Disamping itu, mencegah segala bentuk intervensi asing, memata-matai kaum harbi fi'lan, memutus kontak/hubungan kerja sama warga negara dengan pihak luar negeri serta menerapkan kebijakan satu pintu melalui departemen luar negeri adalah sederet upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah gerakan separatis ini.
Demikianlah sempurnanya Islam. Ia memang menjaga kesatuan dan persatuan serta melarang perpecahan. Namun Islam juga mengacuhkan segala perbedaan dan perselisihan yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan persatuan.
Demikianlah sempurnanya Islam. Ia bukan sekedar obat yang bisa menyembuhkan, namun juga imun yang bisa menangkal segala keburukan.* Maya. A, tinggal di Gresik, Jawa Timur