View Full Version
Selasa, 12 Mar 2019

Polemik Istilah Kafir, Apa Tujuannya?

Oleh: Arin RM, S. Si*

 

Belakangan kata kafir ramai menjadi bahan perbincangan di dunia nyata ataupun dunia maya. Semua berawal ketika salah satu ormas menyampaikan hasil musyawarah nasionalnya dengan poin rekomendasi komisi-komisi hasil rapat pleno Munas Ulama, salah satunya tidak menyebut kafir kepada nonmuslim (news.detik.com, 01/03/2019).

Padahal jamak diketahui bahwa kafir bukanlah tendensi khusus yang hanya diberlakukan untuk menyebut identitas non-muslim di Indonesia saja. Kendati istilah kafir berasal dari bahasa Arab, namun penggunaannya universal. Berlaku bagi seluruh dunia. Sebab kafir adalah istilah yang dirujuk langsung dari Alquran, firman dzat yang telah menciptakan dunia dan seisinya.

Asal muasal Kāfir memang diambil dari bahasa Arab كافر kāfir (plural كفّار kuffār) yang artinya adalah menutup kebenaran, menolak kebenaran, atau mengetahui kesalahan tapi tetap menjalankannya. Dalam KBBI, kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, penamaan kafir bukanlah sebuah peyorasi bagi keyakinan tertentu. Tapi kafir adalah bagian dari istilah Islam yang menjadi salah satu kekayaan ajaran Islam.

Adapun penyematan aneka predikat kafir ke dalam kafir dzimmi dan kafir harbi adalah istilah kenegaraan yang dipraktekkan tatkala negara Islam ada. Pada waktu Islam eksis dalam pengayoman negara, maka bagi kaum kafir yang menjadi bagian warga negara Islam diberikan sebutan kafir dzimmi. Mereka non-muslim yang dari sisi perlakuan warga negara, jaminan keamanan, dan pelayanan publik lainnya mendapatkan persamaan dengan kaum muslim. Hanya saja dari sisi keyakinan aqidah, mereka diberikan kebebasan tetap pada keyakinannya, asalkan mau patuh di bawah kepemimpinan Islam.

Sedangkan kafir harbi adalah kaum kafir yang posisinya memusuhi bahkan memerangi negara Islam. Pada mereka inilah perlakuan tegas diberlakukan, sesuai dengan bentuk permusuhan yang mereka kobarkan. Dan perlakuan demikian telah dicontohkan sejak zaman negara Islam Madinah ada. Sebagai kepala negara, Rasulullah saat itu memberikan jaminan keamanan bagi Yahudi dan kaum musyrikin di dalam Madinah tersebab posisi mereka sebagai kafir dzimmi. Adil dan mengayomi untuk mereka. Namun, terhadap kafir Quraisy yang nyata permusuhannya, maka Rasulullah menanggapinya dengan peperangan.

Pada konteks saat ini, tatkala Islam tidak diterapkan dalam skala negara, penyematan kafir dzimmi ataupun harbi memang tidak setegas dahulu. Namun yang harus dicatat bahwa kendati dulu kafir dzimmi diperlakukan baik sebagai warga negara, mereka tidak diberikan jabatan kepemimpinan. Sebab Alquran tegas melarangnya dalam Almaidah ayat 51.

Agaknya belajar dari kasus penghinaan Alquran 2016 silam, terminologi kafir ini hendak dihapuskan dalam dunia kepemimpinan saat ini. Mengapa? Tahun itu terbukti bahwa kesetiaan muslim pada dawuh Alquran untuk tidak memilih pemimpin kafir, berhasil menggagalkan upaya non-muslim maju berkuasa. Dan sangat mungkin tak hendak kejadian sama terulang kembali, ada sejumlah pihak meminjam baju dari organisasi Islam untuk melumpuhkan ketaatan muslim pada Alquran.

Awalnya opini digiring bahwa kafir tidak perlu disebutkan. Semakin ke sini mereka akan tegas melarang penggunaan kata kafir. Sehingga nanti ujungnya tidak masalah siapa saja berkuasa, muslim ataupun kafir. Muara inilah sejatinya yang perlu menjadi perhatian khusus bersama. Bahwa negeri mayoritas muslim ini layaknya memang menggunakan aturan yang diyakini oleh mayoritas penduduknya sebagai aturan yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.

Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya. Atas nama toleransi justru mayoritas harus mengalah mengikuti aturan nasional yang sebenarnya bersumber dari keyakinan minoritas. Muslim sudah mengalah penanaman hari pertama setiap pekan bukan Ahad dan penanaman bulan bukan sistem Hijriyah. Muslim pun harus oke-oke saja menjalankan ekonomi bukan dari sistem syariah. Muslim pun biasa saja ketika aturan lainnya termasuk hukum masih menggunakan warisan penjajah.

Mayoritas yang mengalah ini masihlah dirasa kurang. Sebab sangat mungkin yang diinginkan adalah lenyap nuansa Islam dari kehidupan, terlebih urusan politik. Sehingga jauh-jauh hari segala upaya dilancarkan agar Islam tidak masuk entitas politik dan sebaliknya. Sungguh sangat benarlah firman Allah yang termaktub dalam Albaqarah ayat 20 yang artinya: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka...." Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah Pemerhati Media Sosial, Pegiat TSC.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version