Oleh: M Rizal Fadillah
Diantara tokoh fenomenal menjelang Pilpres 2019 adalah Rocky Gerung. Alumnus UI mantan dosen Filsafat yang memiliki karakter berfikir khas. Di samping kritis juga sering menonjok dengan predikat "dungu". Diskusi atau ceramahnya digemari.
Ada keberanian dan logika berfikir cepat atau tepat yang membuat lawan diskusi sering kelabakan atau bahkan "mati kutu". Tentu kepada rezim Jokowi kritis dan pedas. Posisi dari sisi fans kini bagaikan artis. Ditunggu dan dielukan.
Lawan politik yang bertautan dengan rezim berupaya mencari kelemahan agar Gerung tidak telalu "menggerung". Soal kitab suci fiksi dipolisikan. Singgungan soal tokoh berjanggut H. Agus Salim dipolemikkan. Sampai keluar bahasa kekanak-kanakan agar Rocky melepas status WNI nya. Tentu dijawab dengan "dungu" lagi.
Ada tiga hal membuat Rocky Gerung fenomenal, yaitu :
Pertama, di tengah dunia akademik yang biasa mencari jalur tengah dan aman, Rocky melabrak dengan pandangan tajam dan bernas. Kata "dungu" adalah tinju maut yang membuat belingsatan lawan. Kejengkelan juga kadang muncul terpancing oleh tinjunya itu. Jadi Rocky Gerung adalah figur akademisi unik. Akar berfikir filosofisnya cukup kuat.
Kedua, kritik kepada Pemerintahan Jokowi dinilai aspiratif. Publik sedang melihat dan merasakan bahwa jalan pemerintahan kini terseok-seok, tidak profesional, dan cenderung seenaknya. Jauh dari asas pemerintahan yang baik. Aspirasi publik tersebut menemukan saluran berupa "terompet" yang mampu memekakkan telinga Pemerintah.
Ketiga, Rocky bukan muslim namun sering mengadvokasi suara umat Islam. Seperti juga tokoh lain Natalius Pigai. Obyektivitas pandangan keduanya disukai dan mendapat applause dari umat. Hal ini oase ditengah munculnya tokoh Islam, termasuk yang bergelar Kyai, justru sering memojokkan umat Islam sendiri. Mengacak-acak perasaan kemusliman.
Pada hakekatnya rakyat atau masyarakat itu suka pada jiwa heroik. Mayoritas diam selalu butuh wakil nurani yang bersuara. Awalnya mereka berharap pada politisi. Akan tetapi terlalu banyak politisi terkooptasi. Hal ini disebabkan pada bayaknya politisi yang terlalu mementingkan diri atau kelompok Berebut posisi semata harga diri. Tentu tidak semua.
Rocky Gerung bergaung untuk gerakan akal sehat. Menjadi tokoh perlawanan rezim bersama tokoh lain. Filsafat bisa menjadi alat sebagaimana seni.
Dahulu ada Rendra dan Taufik Ismail. Taufik kini masih hadir di panggung perjuangan. Agama sudah pasti menjadi kekuatan kritis pula, bahkan yang paling kuat. Karena dalam da''wah ada "amar ma'ruf" dan "nahyi munkar".
Da'i harus menjadi pemberani di jalan kebenaran.
"Jihad paling utama adalah mengatakan yang benar dihadapan penguasa zalim" (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majjah).