Oleh:
Normaliana, S. P*
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan penetapan tersangka terhadap beberapa tokoh yang telah menambah daftar politisi Indonesia yang terjerat kasus korupsi.
Para tokoh elit politik yang diperiksa oleh penyidik, kemudian ditahan oleh KPK setelah mereka ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan suap seleksi jabatan. Dan di jerat dengan pasal 12 huruf a / huruf b atau pasal 11 UU nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, juga disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a / b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (detiknews, 16/03/2019).
Fenomena maraknya kasus korupsi seakan telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang politik sistem demokrasi hari ini. Korupsi telah menjadi penyakit sebagian besar demokrasi yang sudah mengakar dari strukturnya. Birokrasi dan jabatan seakan memberikan ruang kenyamanan dan peluang “lahan basah” untuk bebas melakukan apapun yang di inginkan demi eksistensi diri, sekalipun harus mnggadaikan harga diri terhadap amanah yang telah dikhianati.
Tingkah polah para elit politik di negeri ini mengisyaratkan mental korup yang sulit dihilangkan. Saat tersangka sudah ditangkap, dihukum dan dipenjara tidak pula menimbulkan efek jera, bahkan yang terjadi justru praktik korupsi tersebut malah semakin menggurita.
Sosok pemimpin yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan kebaikan, pada akhirnya fakta lah yang harus bicara, rakyatlah yang selalu dikecewakan dengan manisnya slogan dan jargon-jargon yang mereka ucapkan.
Sejatinya, kekuasaan dalam islam bukan tujuan tapi hanya sebuah amanah yang harus dijalankan untuk menerapkan aturan-aturan dari Allah SWT, agar kehidupan manusia selalu diliputi dengan suasana keimanan. Jika ingin menjadi pemimpin tapi pijakan utamanya adalah sekularisme (Pemisahan agama dalam kehidupan) maka yang terjadi hanyalah sebuah kebinasaan. Karena, bagi seorang pemimpin ketakwaan adalah mutlak bukan sekedar slogan.
Sistem demokrasi yang menganut paham sekuler-kapitalis, standar baik buruk dan terpuji tercela sangat ditentukan oleh rasa manusia, benar salah hanya berdasarkan hawa nafsu. Tujuan mulia dibalik kursi jabatan dan kekuasaan yang katanya ingin bekerja demi rakyat terkadang harus terkotori oleh egoisme pribadi dan golongan.
Banyaknya kasus korupsi yang berhasil disingkap KPK saat ini, tentu telah semakin merusak citra wakil rakyat. Satu persatu bangkai busuk yang selama ini berusaha ditutup-tutupi akhirnya terbuka nyata dan diketahui publik. Tentu saja, semua layak mengapresiasi langkah KPK memberantas koruptor.
Antikorupsi dan tata pemerintahan yang baik hanya slogan. Birokrasi yang bersih masih bisa tidak efektif bertugas. Tata pemerintahan yang baik membutuhkan kapasitas negara, manusia, material, manajemen dan sumber daya organisasi yang baik.
Semua itu sangat diperlukan bagi pemerintah untuk melaksanakan amanah secara efektif dan efisien. Terkait dengan keterampilan dan pengetahuan pejabat publik yang harus diberi otonomi dan kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas. Karena praktik korupsi cenderung merusak kehidupan bernegara.
Ada banyak upaya pemerintah untuk memberantas korupsi, meskipun beberapa kebijakan tidak efektif. Untuk mencapai tingkat korupsi rendah, Pemerintah harus membentuk dan menguatkan lembaga antikorupsi independen untuk mengawasi transaksi bisnis dan memastikan transparansi lembaga-lembaga pemerintah bersih untuk meminimalisir transaksi yang mencurigakan. Karena korupsi terkait erat dengan sistem hukum, disarankan untuk meningkatkan kompetensi setiap bagian dari sistem hukum, termasuk polisi dan pengadilan. Mempekerjakan orang-orang yang punya integritas dan profesional untuk mengurangi peluang pejabat karbitan. Tidak hanya meningkatkan kinerja sektor, tetapi juga mengurangi dampak korupsi itu sendiri.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian nyata, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat.
Solusi Islam berantas korupsi
Sudah ada niat Pemerintah yang cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan telah dibuat satu Tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh. Ini terlihat dari tak adanya keteladanan dari pemimpin dan lemahnya pengungkapan kejahatan korupsi sementara masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana.
Fenomena korupsi yang terus menggurita, hanya bisa diberantas tuntas dengan sistem Islam, ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Pertama, dengan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Karena para birokrat tetaplah manusia biasa.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Kelima, hukuman setimpal. Agar orang takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, bila ditetapkan hukuman yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi.
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pembeitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi.
Dalam Islam, syarat yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat. yakni, sifat adil terhadap siapa saja, senantiasa memelihara wibawa dan nama baik (muruah), pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara dan ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk menerima amanah) dengan berbagai ketentuan, wawasan luas dan kebijaksanaan.
Syarat-syarat tersebut mutlak diperlukan karena diharapkan para wakil rakyat akan dapat mewakili kemauan dan kehendak rakyat yang diwakilinya. Rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhlasan, kekonsekuenan, ketakwaan, keadilan, kecemerlangan pikiran, dan kegigihan mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Wallahu’alam. *Penulis Staf Pengajar MtsN 2 HSU