Oleh:
Ricky Tamba, SE, Jurubicara Jaringan '98/ Fanbase Militan 02 Prabowo-Sandi
KALAU cuma punya presiden seperti Donald Trump di USA, yang bangun tembok perbatasan dan kerahkan pasukan bersenjata untuk blokir imigran gelap Meksiko serta negara lainnya, buat rakyat Indonesia gak pernah dianggap hebat. Di sini, cukup dengan pasal karet UU ITE sudah bisa untuk mencyduk serta meredam para tokoh, ulama dan aktivis yang kritis terhadap penguasa dan penyanjungnya.
Kalau cuma nyatakan perang dagang dengan Tiongkok untuk lindungi kepentingan nasional warga USA dan industrinya, itu gaya diplomasi internasional yang sudah lama diterapkan oleh Bung Karno dan Pak Harto. Di sini, semangat rakyat selalu dipacu agar kerja keras hidupi keluarganya. Mulai dari menanam cabai di halaman saat harga meroket, makan keong ketika harga daging tinggi, ternak kalajengking karena racunnya mahal di pasaran untuk nafkahi anak istri, hingga saran untuk bongkar sawit yang murah dan tanam durian untuk suplai ke Tiongkok. Inovatif kan.
Kalau di Eropa dan Jepang seorang pemimpin nyatakan mundur ketika baru terjerat dugaan korupsi, itu mah cemen gak banggetz buat kami, penikmat reality show di Indonesia. Di sini, sudah pakai jaket oranye KPK saja masih bisa cengar-cengir berkacamata hitam di depan televisi, dan melontarkan pernyataan cetar membahana bahwa dirinya dijebak. Bahkan, merevisi doa dan pernyataan kenegaraan itu hal lumrah, rakyat dianggap mahfum. Isuk tempe sore dele. Warbiyasa!
Kalau di Afrika Selatan dilangsungkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menghapuskan politik apartheid dan menghilangkan trauma segregasi antar ras, pola itu pasti gak pas diterapkan di Indonesia. Di sini, persoalan HAM masa lalu, terus dikelola menjadi adegan teater lima tahunan untuk menarik suara, mulai dari peristiwa 1965 hingga kasus orang hilang. Padahal, tiap pemilu pasti ada saja calon presiden yang berjanji akan menuntaskan, tapi ujungnya hanya jadi dagelan menjengkelkan, tak jelas akhirnya.
Kalau di USA, Eropa, Jepang hingga Afrika Selatan, seorang tokoh akan tahu diri dan malu untuk maju kembali, bila gagal penuhi visi misi kampanyenya. Kerap kali malah, pemimpin keok tersebut mengundurkan diri sebelum akhir masa jabatan. Di sini, banyak janji lama tak terpenuhi, malah sibuk produksi janji baru. Selangit dan mengagumkan, hingga mendapat puja-puji berbagai kalangan serta banjir dukungan dari perangkat pemerintahan di berbagai bidang, yang notabene digaji dari pajak rakyat dan kekayaan alam Indonesia.
Kalau di USA, Eropa, Jepang hingga Afrika Selatan, seorang pemimpin berusaha untuk realistis dan membumi, bahkan pembiayaan kampanyenya transparan dan akuntabel, cara itu ditengarai sulit menang di Indonesia. Di sini, seorang pemimpin harus visioner dan banyak program mercusuaris, dekat dengan kalangan taipan yang merupakan mitra industrial kaum buruh, hingga bina relasi akrab dengan berbagai lembaga pakar statistik perpemiluan yang pandai beri advis pencitraan.
Sebenarnya, saya kagum dengan kualitas dan kepedean pemimpin seperti itu. Langka, mungkin hanya lahir segelintir tiap seratus tahun. Rakyat Indonesia semestinya bahagia dan pandai bersyukur, bahwa di tengah penderitaannya saat era resesi dunia saat ini, kita masih diberkahi dengan kehadiran pemimpin visioner tersebut. Mungkin saja, rakyat USA, Eropa, Jepang hingga Afrika Selatan, iri dengan SDM pemimpin yang kita miliki, yang mampu selalu menyemangati rakyat agar kerja keras, karena hidup tak boleh stagnan dan mengeluh.
Berat rasanya bagi saya untuk berpaling dari pemimpin visioner tersebut. Apalagi, banyak media massa yang terus menyajikan keberhasilan prestasinya, yang mungkin tak disadari oleh mayoritas rakyat Indonesia, apalagi turut merasakannya. Bisa jadi rakyat tak tertarik baca media itu-itu lagi, atau karena sudah terlanjur pindah ke lain hati.
Pemimpin kita itu visioner, tapi (maaf) saya mau coblos Pak Prabowo saja di Pemilu, Rabu, 17 April 2019 nanti. Kapasitas intelektual dan kemampuan akademik saya belum mumpuni untuk menjangkau berbagai janji baru dari pemimpin visioner yang ingin lanjut berkuasa kembali. Untuk apa pemikiran setinggi langit, tapi realisasi hanya sebatas bukit. Tak elok banyak berucap, cuma pemanis laksana kecap.
Buat saya, program dan visi misi Pak Prabowo Subianto dan Bang Sandiaga Uno lebih pas dinanti, juga realistis dan membumi. Menjadi waras dan berakal sehat adalah kemewahan terakhir yang ingin saya nikmati. Saya berharap, rakyat Indonesia melihat jernih dan mencatat berbagai janji dan visi misi 02 Prabowo-Sandi Indonesia Menang. Serta terus berdoa agar mereka mampu tepati, tak boleh kecewakan khianati. Semoga.
Yang lama biarlah sirna, yang baru teruslah bersinar!