Oleh:
Astia Putri, SE, MSA, Member Komunitas “Pena Langit”
AGAMA itu suci. Namun nampaknya label agama pada salah satu kementerian yang dianggap spesial ini tidak pula menjadikan instansi ini menjadi suci. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya skandal korupsi yang melibatkan para pejabat di lingkungan Kementerian Agama.
Kasus korupsi terbaru terjadi (15/3) tepat bersamaan dengan kasus biadab penembakan masjid yang terjadi di New Zealand, melibatkan ketua umum PPP Romahurmuziy yang diduga menerima uang komitmen dari dua pejabat Kementerian Agama Jawa Timur dan Kabupaten Gresik perihal jabatan yang diraih.
Sebagaimana yang penulis sampaikan di awal. Kasus korupsi yang melibatkan Kementerian Agama tidak hanya sekali terjadi, bahkan terus terjadi baik di tingkat kasir hingga menteri. Tersebutlah beberapa kasus diantaranya terjadi di Kantor Kemenag Sidoarjo tahun 2011. Seorang kasir koperasi Kemenag Sidoarjo terjerat kasus korupsi dana bantuan dari Kementerian Koperasi dan UKM hingga miliaran rupiah.
Kasus lain di tingkat daerah semisal kasus korupsi dana rehabilitasi masjid terdampak gempa lombok di 2019 yang melibatkan pegawai kanwil Kemenag Mataram. Kita juga tidak lupa dengan kasus korupsi pengadaan Al-Quran di tahun 2011, kasus biaya fiktif rapat “siluman” di tahun 2017 hingga kasus korupsi dana haji di tahun 2012-2013 yang melibatkan Menteri Agama, Suryadharma Ali.
Rupa-rupanya, realitas ini memperkuat validitas penilaian indeks integritas yang dikeluarkan KPK pada 2011 dan 2014 lalu. KPK menyebut Kementerian Agama merupakan lembaga yang menduduki peringkat terendah dalam hal integritas, yang artinya pula sangat rawan terhadap tindakan korupsi. Sebuah ironi, korupsi sebagai sebuah tindakan amoral yang bertentangan dengan agama justru menggurita di ruang yang seharusnya suci dengan nilai agama. Label “agama” yang melekat ternyata tidak secara otomatis memunculkan rasa malu bagi pejabatnya untuk melakukan tindakan amoral.
Sebagai salah satu negara dari sedikit negara yang memiliki Kementerian Agama, keberadaan Kementerian Agama di Indonesia memang dianggap sangat penting untuk mampu mewadahi kepengurusan segala hal berkaitan dengan beberapa perkara dalam Islam, semisal waqaf, haji, masjid dan lain sebagainya untuk menjamin kepentingan umat. Hanya saja, demi melihat kebobrokan yang terjadi di internal Kementerian Agama, muncullah pertanyaan mengapa Kementerian Agama telah bengkok dan tak suci sesuci tujuan berdirinya?
Wajarlah kecewa, kepada siapa lagi umat Islam berharap jika lembaga yang katanya pro dan memudahkan urusan umat Islam justru lebih banyaknya merugikan umat Islam? Tidak hanya kecewa, bahkan wajar hingga marah, ketika melihat realitas hidup yang amat sulit di tengah-tengah umat, justru pejabat Kementerian Agama yang seharusnya adalah manager umat sibuk memikirkan kursi dan ambisi hingga menempuh jalan keji suap dan korupsi.
Demokrasi. Inilah realitas racun yang senantiasa secara sadar ditenggak negara ini setiap waktunya. Adalah sebuah mimpi seseorang yang baik akan selamat dari korupsi jika sistem yang diterapkan masih sistem demokrasi yang mengkondisikan bermunculannya orang-orang yang tidak amanah, serakah dan tidak pernah puas karena terbius kepentingan materi dan ego kuasa. Adalah sebuah mimpi pula mengharapkan ketegasan hukuman bagi pelaku korupsi di dalam sistem demokrasi yang meniscayakan penerapan hukum buatan manusia yang lembek. Padahal Allah SWT berfirman:
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
Permainan hukum yang terjadi dalam realitas sistem demokrasi tidak akan terjadi jika negara menerapkan aturan Islam. Islam sejatinya memerintahkan negara untuk menerapkan aturan yang berasal dari Allah SWT yang Maha Mengetahui segala yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Maslahat akhirnya tidak diukur sebagaimana yang mampu dilihat secara kasat mata manusia seperti yang terjadi saat ini.
Keadilan akan terpenuhi karena hukum Islam akan diterapkan kepada manusia secara tegas. Kesejahteraan pun akan terwujud karena prosedur kepengurusan negara berbasis pada pemanfaatan untuk kepentingan rakyat. Haram adanya kongkalikong antara penguasa dan pengusaha demi kepentingan tertentu. Secara teknis, para pejabat akan diberikan upah yang layak. Pengawasan ketat juga diberlakukan dengan memastikan tidak ada sumber pemasukan ilegal pada harta kekayaan aparatur negara. Pun jika masih saja terjadi korupsi, maka hukuman berat sesuai syara’ akan diterapkan semisal publikasi, penyitaan harta, cambuk, pengasingan hingga hukuman mati.
Maka dari sini tergambar akan pentingnya sebuah negara yang berkomitmen menerapkan aturan Islam. Negara inilah yang akhirnya tidak hanya akan menyucikan sebuah lembaga agama, namun lebih jauh menyucikan setiap individu dan masyarakat dalam naungan Islam kaffah secara luas dari berbagai kemaksiatan yang akan menjatuhkan pada kehancuran dan kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam bis shawab.*