Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*
Terdesak biaya kampanye, caleg di Bogor diringkus polisi lantaran terlibat aksi perampokan uang nasabah bank di Bogor, Jawa Barat (liputan6.com, 21/03/2019). Caleg berinisial SP (36) ini diduga menjadi otak pelaku perampokan dengan modus gembos ban di area Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Selain caleg SP, ada empat tersangka lain yang diamankan polisi, yaitu AM (32), NJ (42), HR (28), dan NA (31).
Makin mendekati ajang pesta demokrasi April 2019 ini, tingkah laku para caleg makin beragam. Ada-ada saja berita mengenai mereka. Bukan saja tentang isi kampanye mereka yang bisa menyusup hingga ke beranda FB atau Instagram namun juga kasus kriminal yang menjerat mereka.
Jika kita berbicara caleg, semestinya kita bicara tentang sosok unggul yang memiliki kualitas diatas rata-rata, yang menjadikan ia layak mencalonkan diri menjadi pemimpin umat. Karena kepada merekalah disandarkan solusi dari semua persoalan mereka. Merekalah yang harus memberikan teladan, karena posisi mereka pemimpin. Faktanya hari ini sulit ditemui.
Dan jika memang misi dan visi mereka adalah untuk memimpin umat, mengubah keadaan menjadi lebih baik. Semestinya tidak perlu dipersulit. Namun sistem hari ini justru mengedepankan birokrasi yang sebenarnya tidak ada korelasinya dengan kriteria pemimpin yang dikehendaki. Sejak awal mula mereka mendaftar sudah dibebani dengan biaya yang besar. Belum jika ia maju sebagai caleg independen. Berlanjut dengan kampanye dan lobi-lobi. Artinya semakin caleg ingin dikenal masyarakat luas maka ia harus banyak berkorban materi atau modal untuk mewujudkan. Hingga melanggar aturan sekalipun akan dilakukannya. Maka bisa ditebak, bahwa mereka yang berkantong tebal akan dengan mudah memenuhi prasyarat tersebut (https://m.republika.co.id/amp/n2o11c).
Hal ini membuka peluang bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Dan setiap bantuan dari pihak diluar caleg tentu akan membawa konsekwensi tertentu. Inilah yang kemudian membuat caleg terjebak dalam situasi antara kekuasaan dan menggadaikan akidah. Apakah akidah dan politik tidak bisa disatukan? Jika kita berbicara di sistem hari ini jelas sulit dan tidak mungkin terwujud.
Sistem demokrasi memang tak peduli bagaimana cara seseorang menjadi pemimpin. Apakah dia pemuka agama ataupun residivis, semua harus memunculkan dirinya sendiri, apapun caranya. Karena kekuasaan tidak dianggap sebuah amanah yang itu harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Ini adalah akibat dari landasan dasar demokrasi adalah pemisahan agama dari kehidupan. Kekuasaan hanyalah alat untuk seseorang itu berkuasa dan memperoleh kedudukan. Karena dengan seseorang memiliki kedudukan semua urusan ada pada kendalinya.
Bagaimana Islam memandang persoalan ini? Menjadi perampok bank memang tidak akan dibenarkan oleh Islam sampai kapan pun. Ia adalah tindakan kriminal yang bagi pelakunya harus ditindak tegas. Dan jika ia mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin maka ini sudah bisa membuat sang calon didiskualifasi. Bertindak sesuai hukum yang berlaku saja sudah tidak sanggup apalagi memercayai hukum dari Allah yang mengharamkan perbuatannya. Jika pemikirannya tidak bisa membedakan baik dan buruk, halal dan haram maka mana bisa ia menjadi pemimpin yang adil.
Politik dan akidah dalam Islam tidak terpisahkan. Karena politik sendiri adalah upaya mengurusi urusan umat dengan syariatNya. Maka, tak layak seseorang menjadi pemimpin jika cara yang ia tempuh diharamkan syariat. Begitupun nanti ketika memimpin ia menggunakan selain syariat akan berdosa di hadapan Allah karena memunculkan kezaliman untuk berbagai pihak. Hari ini menjadi urgensitas kita untuk perjuangan memunculkan pemimpin umat dengan kapabilitas sesuai syariat. Agar benar-benar ada perubahan kehidupan menjadi lebih baik dunia dan akhirat. Wallahu a' lam bisshowab. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah Pengasuh Grup Online Obrolan Wanita Islamis (BROWNIS).
Ilustrasi: Google