View Full Version
Rabu, 27 Mar 2019

Banjir Bandang di Papua, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh: Ratna Kurniawati  

Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api Pasifik atau Pacific Ring of Fire memang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Berada di gugusan gunung api dan titik pertemuan sejumlah lempengan bumi membuat Indonesia rawan diterpa amukan alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, hingga 14 Desember 2018 -sepekan sebelum bencana tsunami di Selat Sunda menerjang- telah terjadi 2.436 kejadian bencana di Indonesia.

Secara umum, tren bencana meningkat selama satu dekade terakhir, dan didominasi oleh bencana banjir, longsor, dan puting beliung. Dibandingkan dengan tahun-tahun lain selama satu dekade terakhir, jumlah korban jiwa akibat bencana alam di tahun 2018 adalah yang terbanyak. Adapun daerah-daerah yang rawan longsor antara lain terdapat di sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pada hari Sabtu (16/03) Indonesia kembali berduka karena terjadinya banjir bandang di Sentani, Papua.

Kerusakan lingkungan jadi penyebabnya?

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan jumlah korban meninggal dunia akibat banjir bandang yang terjadi di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, hingga hari Senin (18/3) mencapai 77 orang.  Korban tewas ini mencakup 70 orang di Kabupaten Jayapura dan 7 orang di Kota Jayapura.  Selain itu, 43 orang masih hilang, yaitu 34 orang di Kampung Milimik Sentani, 6 orang di Komplek Perumahan Inauli Advent serta 3 orang di Doyo Baru.   Sampai saat ini pencarian pun masih terus dilakukan.

Sutopo Purwo Nugroho menduga banjir bandang yang terjadi di Sentani itu disebabkan oleh dua faktor yaitu, faktor alam, di mana selama tujuh jam telah turun hujan deras sebanyak 248,8 mm -padahal biasanya jumlah ini rata-rata turun dalam kurun waktu sebulan- dan kerusakan Pegunungan Cycloop di Jayapura. Pegunungan yang seharusnya menjadi resapan air malah dirusak dan dibuat menjadi permukiman hingga pertanian.

Kerusakan di Pegunungan Cycloop ternyata sudah berlangsung sejak 2003. Perambahan cagar alam oleh 43.030 jiwa atau 753 keluarga sejak 2003. Terdapat penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur pada DTA (DAS sentani) banjir 2.415 hektare, masih ada juga penebangan pohon baik untuk pembukaan lahan, perumahan, maupun kebutuhan kayu dan penambangan galian.

Polisi akan melakukan audit komprehensif dengan menggandeng sejumlah ahli untuk menyelidiki penyebab terjadinya bencana. Selain menewaskan puluhan orang, banjir bandang di Sentani, Papua, juga merusak pesawat dan mobil.

Islam mengatasi banjir?

Bencana banjir memang sudah tak bisa dipungkiri lagi di saat musim penghujan tiba. Di beberapa daerah di Indonesia banjir sering melanda dan permasalahan ini sampai sekarang belum bisa diselesaikan.   Tidak bisa diatasi oleh negara khususnya di daerah yang sering terkena banjir.

Ternyata masalah banjir sudah dibahas dalam al Quran.  Di sana diceritakan bahwa kaum 'Ad, negeri Saba dan kaumnya nabi Nuh pernah menjadi korban banjir.   Dan juga terdapat kisah-kisah dari beberapa surat-surat di dalam al Quran,seperti surat Hud ayat 32-49,Al 'Araf ayat 65-172 dan surat Saba' ayat 15-16. Jadi kalau secara agama banjir terjadi akibat manusia telah membangkang perintah Allah. Tetapi kalau kita lihat secara ekologis banjir dapat terjadi karena kesalahan manusia dalam memperlakukan alam sekitar.

Pada kasus banjir Sentani, ada dugaan perambahan hutan ilegal, yang menyebabkan  terjadinya longsor dan banjir.   Manusia telah memanfaatkan alam secara liar, tanpa peduli keseimbangan alam..   Akibatnya ekosistem terganggu, kerugian pun datang, yang tidak hanya merugikan harta tapi juga jiwa manusia sendiri.

Allah SWT pun telah memperingatkan , “Telah nampak kerusakan di darat  dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada  mereka  sebagian dari perbuatan  mereka,  agar mereka kembali.”   (TQS. AR-Ruum: 41).

Maka Islam secara preventif, mendorong manusia memanfaatkan alam dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam, dan peruntukan lahan sebagaimana seharusnya.   Khilafah akan memetakan daerah rawan banjir serta melarang penduduk membangun pemukiman di daerah tersebut. Negara berperan untuk mengawasi secara ketat.  Tidak seperti sekarang, mudah sekali memberikan konsesi  lahan untuk pribadi atau kapital besar.

Demikian juga, khilafah akan membangun bendungan-bendungan guna menampung curah hujan, air sungai dll.   Pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalihkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu.

Khilafah juga menekankan pembentukan badan khusus penanganan bencana, persiapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam, melakukan sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kewajiban memelihara lingkungan, kebijakan atau persyaratan tentang izin pembangunan bangunan atau pembukaan pemukiman baru. Penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah dsb. Solusi penanganan lainnya seperti penyediaan tenda, makanan, pengobatan, dan pakaian serta keterlibatan warga (masyarakat) sekitar yang berada di dekat kawasan banjir.

Begitulah solusi Islam dalam mengatasi banjir dan kebijakan khilafah Islamiyah ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi juga pada nash-nash syara.  Sungguh hanya negara yang peduli dan selalu melayani rakyat , juga memahami perannya yang sangat besar untuk mengelola alam  yang akan mampu mengatasi segala bencana .  Termasuk banjir bandang.  Semua karena didasari ketaatan dan tanggung jawab kepada Allah Swt.  Walahu’alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version