Oleh: M Rizal Fadillah
Wiranto Menkopolhukam sedang mendapat sorotan media. Ini berkaitan dengan wacana ujaran hoax yang konon bisa dijerat oleh UU Anti Terorisme. Kekesalan Pak Menko ini umumnya ditanggapi negatif dan dinilai berlebihan.
Ada yang nyatakan lebay. Mabes Polri "memperlunak" dengan menyatakan bahwa hal itu bisa bila terkait dengan jaringan teroris. Said Agil malah mendukung wacana Wiranto.
UU Anti Terorisme adalah UU untuk tindak pidana khusus. Hoaks atau bohong adalah perbuatan yang bersifat umum. Sudah ada aturan yang jelas dalam KUHP dan lebih berat di atur dalam UU ITE. Konten hoaks ini bisa bersifat "karet" nuansa politisasi juga cukup kental. Hoaks demi keamanan negara bisa dan biasa dilakukan oleh instansi intelijen. Counter espionage atau counter propaganda sering bersentuhan dengan garis "hoax".
Mendekatkan hoax dengan terorisme adalah bentuk teror itu sendiri. Masyarakat ditakut takuti oleh dedemit "hoax". Tanpa makna dan kategori yang benar tentang hoax maka bahaya besar tengah mengancam demokrasi negeri. Posisi pemerintah menjadi penentu. Ini namanya regimentasi.
Wiranto berwacana tanpa dasar argumentasi yuridis maupun sosiologis. Apalagi ia pernah menyatakan bahwa hoax menjadi alat menyingkirkan lawan pllitik dalam pilpres. Betapa sempit causa untuk suatu pengaturan yang besar. Wajar bila dinilai memang hal ini adalah lebayisasi.
Sebelumnya Wiranto juga mengoreksi pernyataan Presiden soal pembebasan Ba'asyir. Menurutnya soal pembebasan masih dalam pembahasan. Padahal saat itu Presiden Jokowi sudah mendeklarasikan. Pertanda Wiranto kuat dan Presiden lemah. Atau Wiranto memang menelikung. Lingkaran istana tentu yang lebih tahu. Istana menuduh Prabowo dalam kasus 98 padahal itu tanggung jawab Wiranto. Wiranto sedang sembunyi di tempat yang terang.
Terorisme hoax itu mengada-ada. Sumber hoax adalah institusi yang mampu mengelola. Bukan rakyat atau lawan politik. Coba resapi hati nurani Rakyat itu kemana berpihak Wiranto mengubah spirit nurani Rakyat menjadi berjuang mati matian untuk hati nurani Raja. Ketika kita sebut nurani rakyat jangan ngeles dengan kalimat rakyat yang mana?
Kita yang menyebut hati nurani Raja, justru sudah dapat memastikan bahwa Raja yang dimaksud adalah yang bertahta di Istana. Dan Raja itu bernama Joko Widodo. Enteng saja, kan. [syahid/voa-islam.com]