Oleh: M. Rizal Fadillah
Teriakan emosi dan agak melengking "lawan" di pidato Yogyakarta menggambarkan Jokowi mengalami nervous atau grogi. Goyah keseimbangan politiknya.
Biasanya "dingin dingin" saja menghadapi serangan berbagai fihak. Sampai sampai predikat kuat mental atau "muka tebal" disematkan dalam menghadapi berbagai kritik dan ujaran.
Ada kekaguman pada tingkat tinggi atas "kecuekan" nya. Akan tetapi di Yogyakarta pecahlah keheningan itu. Curhat yang berujung pada lengkingan "lawan" menunjukkan sinyal tertentu akan kondisi dirinya yang grogi.
Bagai orang bertinju, pukulan "lawan" itu tak jelas pada siapa sehingga ia sedang memukul dalam gaya "shadow boxing". Dan ketika berada di arena tinju, setelah adu pukul dan hakim masih memberi angka lebih, tiba tiba lawan berhasil menggoyahkan Jokowi. Pukulan berturut turut. "Jab" kartu e KTP dilanjutkan "hook" Romi dan "upper cut" hasil polling Litbang Kompas. Limbunglah ia, hampir jatuh.
Pukulan balasan sangat lemah, bahkan jadi boomerang. Tanah kalimantan dibalas pukulan tanah luas dikuasai teman teman sendiri. Lalu "unicorn" malah terpeleset "down load" dan pukulan acak "tabok" kena "tampar, tuman". Untung tertolong oleh bel ronde waktu.
Ada tiga ciri nervous menurut ilmu jiwa, yaitu tidak konsentrasi, tidak peduli penampilan, dan mudah lelah. Dalam kaitan politik tidak konsentrasi ditunjukkan lewat program dadakan yang lompat lompat tanpa evaluasi sukses tidaknya program terdahulu. Tak peduli penampilan dengan asal asalan berpakaian seperti kakek kakek yang pakai baju milenial. Lelah nampak pada sikap frustrasi, emosi, dan tak berenerji. Banyak mimpi.
Jokowi grogi diambang kekalahan. Elektabilitas mentok sementara lawan terus naik bereskalasi. Sambutan kampanye kalau tidak mengecil, ya segitu gitu saja. Berbeda dengan Prabowo yang semakin gempita. Grogi karena yang terdengar dukungan keras hanya dari suara pejabat. Itu pun yang digiring dan diancam-ancam. Suara rakyat ada di pihak Prabowo. Simbol perlawanan rakyat ada pada dua jari. Spiritnya adalah ganti Presiden artinya tumbangkan Jokowi. Jika ditanya hati nurani, maka 2019 adalah untuk Presiden baru.
Nervous atau grogi karena ruang curang semakin sempit. Pengawasan publik cukup kencang. Amanat jaga TPS dan pegang lembar bukti C 1, viralkan temuan ketidaknetralan, hingga tuntutan audit komputer KPU dan datangkan pemantau pemilu dari mancanegara.
Soal DPT siluman terus dipersoalkan. Bahkan kotak suara kardus masih disorot. Kreativitas curang berhadapan dengan kreativitas anti kecurangan. Medsos dan cyber army siap bertempur habis habisan. Jokowi makin grogi.
Dalam tinju jika pukulan telah membuat grogi maka si petinju itu berada diambang kekalahan telak. Jika tidak TKO ya bisa KO. Meski polling masih menampilkan angka selisih tipis, tapi fenomena politik yang tak semata diukur dengan ramalan lembaga survey, menunjukkan hasil lain.
Tidak tipis tapi insya Allah telak. Pohon yang sudah goyang ketika akarnya tidak kuat menahan lagi maka pohon itu pasti tumbang. Jokowi nampaknya akan pulang kandang. Solo siap menyambut putera yang bukan terbaiknya.
Mungkin sebagai pengusaha Pak Jokowi bisa lebih sukses. Rakyat sudah faham sekarang bahwa Presiden memang bukan bidang Bapak. [syahid/voa-islam.com]