PESTA rakyat memang sudah digelar. Namun faktanya, banyak cerita miris yang ditingggalkan dibelakangnya. Lihat saja bagaimana umat masih terpecah menjadi dua kubu yang bertolak belakang dan saling menjatuhkan hanya karena perbedaan pilihan. Bahkan status persaudaraan pun, tak berhasil mengikis jurang perbedaan itu.
Ironisnya, dampak kekisruhan tersebut juga merembet pada ulama sejuta umat (red: Ustadz Abdul Somad) dengan ragam fitnah keji yang dilemparkan kepada beliau.
Seperti yang kita tau - khususnya para pengguna media sosial aktif - bahwa Ahad (14/4) lalu, warganet serentak menyemarakkan penggunaan tagar #UASdifitnahKejiDanBrutal serta #saveUAS hingga keduanya menjadi 10 besar trending topik di jagad Twitter.
Dua tagar tersebut diketahui sebagai respons atas konten-konten yang disiarkan akun Twitter @saididu pasca pembajakan sejak Sabtu (13/4) malam. Dan sebagai informasi, kuat dugaan fitnah keji itu merupakan reaksi setelah sebelumnya alumnus S-2 Darul Hadis (Maroko) Ustadz Abdul Somad menunjukkan dukungannya secara terbuka terhadap calon presiden (capres) Prabowo Subianto pada Kamis (11/4) lalu. (Republika 14/4).
Dan sungguh, tulisan ini pun dibuat bukan karena latar belakang siapa memihak siapa kemudian menjatuhkan siapa. Tapi lebih besar dari itu, untuk membuka mata kaum muslimin khusus nya, bahwa ada begitu besar kebobrokan yang dihasilkan oleh sistem ini. Sistem politik yang menghalalkan segala cara dan menjadikan musuh para ulama yang berani melakukan amar makruf nahi mungkar.
Fitnah keji terhadap ulama demi kepentingan politik semacam ini tentu bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, Habib Rizieq Shihab juga pernah mengalami hal serupa yang kemudian mengharuskan beliau pindah ke Arab demi keamanan dan keselamatan.
Kegagalan yang berulang dalam menangani kasus kriminalisasi ulama ini tentu menjadi bukti otentik bagaimana cacatnya sistem buatan manusia. Di satu waktu ulama akan dianggap kawan jika eksistensinya mampu mendulang simpati umat. Namun di lain waktu, mereka bisa menjadi lawan jika sudah tak sejalan.
Kondisi berbeda tentu akan dijumpai tatkala manusia dengan ikhlas menyadari fitrah nya yang hanya sebagai makhluk. Yakni tunduk dan patuh terhadap aturan apapun yang diserukan oleh Yang Maha Mengatur dalam menjalani roda kehidupan ini.
Dalam konsep berpolitik, maka kepemimpinan dan aparatur negara hanya akan diserahkan kepada mereka yang benar-benar mampu dan adil meriayah seluruh urusan umat. Ketundukan mereka pun hanya kepada hukum syara, karena bekal inilah yang akan menyelamatkan mereka dari pedihnya siksa neraka. Sehingga mustahil rasanya ada pihak pihak yang sengaja menjatuhkan profil yang tak lain adalah saudara muslimnya sendiri.
Selain urusan politik, Islam juga mengatur bagaimana adab yang benar dalam menempatkan sosok ulama, sang suluh di tengah kegelapan ini. Mereka tak layak difitnah, bahkan harus senantiasa dihormati karena gelarnya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah sebagai "warosatul anbiya: pewaris para nabi".
Sejatinya di dalam Al-Qur`an, kata ‘ulamā’ yang merupakan bentuk plural dari kata ‘ālim’ disebutkan sebanyak dua kali. Pertama, dalam surah Fathir [35] ayat 28; yang kemudian dikategorikan sebagai ulama rabbani yang patut diikuti karena keilmuannya yang menjadikan mereka hamba hamba yang takut kepada Allah.
Sebaliknya dalam Surah asy-Syu’ara [26] ayat 197, Allah pun menjelaskan adanya model ulama Bani Israil – yang pada umumnya— adalah ulama Sū` (buruk) yang tak patut diteladani. Dimana dalam ayat ayat lain yang bersinggungan, dijelaskan bagaimana perangai mereka yang cenderung menyembunyikan kebenaran, menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, mengingkari kebenaran yang diyakini, mendistorsi ayat-ayat Allah untuk kepentingan diri sendiri dan terakhir memanipulasi kebenaran demi mendapatkan keuntungan duniawi yang sedikit.
Jelaslah bahwa Islam selalu mempunyai pakem yang paten dalam mengatur seluruh interaksi individu manusia. Baik itu dengan Allah, dirinya sendiri, maupun dengan orang lain termasuk ulama.
Maya A
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban Gresik, Jawa Timur