View Full Version
Jum'at, 26 Apr 2019

The Blueprint of “Fat Man”

SEJAK mencuatnya film dokumenter berjudul “Sexy Killers” karya Watch Dog tertanggal 16 April 2019, menuai perhatian besar dari masyarakat Indonesia.  Film ini mengisahkan perjalanan batu bara dari hulu sampai ke hilir, yaitu dari tempat penambangan sampai bisa dikonsumsi masyarakat dalam bentuk listrik. Yang paling disoroti di film ini adalah dampak sosial dan lingkungan serta siapa dibalik perusahaan penambang batu bara tersebut.

Fakta yang mencengangkan adalah pemilik perusahaan tambang batu bara sebagian besar saling berhubungan terutama dalam hal perpolitikkan dan kekuasaan pemerintahan. Dengan kata lain mereka adalah pengusaha sekaligus penguasa. Solusi yang digiring dalam film tersebut adalah dengan pemanfaatan sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan. Namun pertanyaannya adalah apakah itu solusi solutif dari semua masalah yang dipaparkan?

Kekayaan Bagaikan Surga Dunia

Seperti yang kita ketahui selama ini bahwa Indonesia bukanlah negara yang miskin Sumber Daya Alam  (SDA) khususnya sumber daya energi dan mineral. Ini dikarenakan Indonesia terletak pada posisi geografis yang terletak di jalur gunung api dunia. Sumber daya ini harusnya menjadi salah satu sektor pembanguanan negara.

Mulai dari tambang emas di papua yang menjadi tambang terbesar nomor 1 di dunia, tambang batu bara di Sumatra dan Kalimantan, tambang nikel di Sulawesi dan lain lain. Tapi sayangnya 70-80% kekayaan alam Indonesia ini dimiliki oleh asing. Perusahaan Freeport, Chevron, Shell, Newmont, PetroChina, ConocoPhillips, BP, dan Niko Resouces  adalah beberapa perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia (Bombastis.com).

Sebagai contoh penambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia dalam sehari menghasilkan 210 ribu ton ore. Disetiap 1 ton ore ada kandungan emas  sekitar 1 gram (detik.com). Berarti dalam sehari PT FI menghasilkan 210 kg emas. Jika dihitung pertahun maka total emas yang didapat adalah 75.600 kg. Belum ditambah tembaga dan perak yang diperoleh. Sungguh angka yang fantastis bukan?

Sayang, besarnya potensi yang dimiliki Indonesia tidak sampai kepada masyarakat dengan maksimal. Pasalnya keuntungan terbesar berada di pihak swasta bahkan asing dan aseng. Masyarakat justru banyak terkena imbas dalam hal sosial dan lingkungan, sungguh sangat ironis.

Akar Masalah dan Solusi Tuntas

Akar maslah sebenarnya bukan pada pemerintah, peraturan maupun masyarakat sendiri. Akan tetapi sistem yang digunakan di negeri ini, yaitu sistem ekonomi kapitalisme. Bagaimana tidak, sistem yang mendewakan perolehan keuntungan dengan segala cara ini menjadi legal atas nama pemerintah lewat undang-undang yang dibuatnya. Dengan dasar UU, sumber daya alam dapat diprivatisasi oleh pihak swasta bahkan asing dan aseng. Tidak heran jika manfaat yang dirasakan oleh masyarakat hanya secuil bahkan bagi masyarakat sekitar tambang mereka mendapat lebih banyak dampak buruknya. Dan tentu saja keuntungan terbesar mengalir kepada pemilik pertambangan.

Maka sudah jelas bahwa blue print (cetak biru) atau kerangka kerja terperinci sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan yg meliputi tujuan, sasaran, dan penyususnan strategi sudah disahkan oleh pemerintah. Blue Print dalam berbagai tambang pun sudah disahkan dengan diputuskan undang-undang Izin Usaha Pertambangan dengan kebijakan perizinan diserahkan kepada daerah masing-masing, bukan pemerintah pusat.

Maka para kapitalis atau “Fat Man” menjadi sangat leluasa untuk memperoleh izin tambang di berbagai daerah di Indonesia. Terbukti setelah ditetapkan kebijakan otonomi daerah, IUP melonjak dari 750 pada tahun 2001 menjadi 10 ribu IUP tahun 2010. Pengusahapun menjadi sangat dimanjakan.

Kondisi masyarakat akan termarjinalkan bahkan lebih parah selama sistem ekonomi kapitalis terus berlanjut. Maka diperlukan adanya perubahan sistem yang menjamin sumber daya alam tidak bisa diprivatisasi. Satu-satunya sistem yang mengatur tentang kepemilikan adalah sistem ekonomi Islam, dimana Islam mengatur mana saja yang berhak dimiliki individu, umum, dan negara.

Sumber Daya Alam seperti energi dan mineral ditetapkan menjadi milik umum yang tidak boleh diambil keuntungannya oleh segelintir orang saja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW “Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu padang gembala, air dan api”. Energi termasuk pada kategori api maka ini adalah milik publik yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara bukan swasta dan keuntungan keseluruhan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk biaya pendidikan dan kesehatan gratis juga  fasilitas umum seperti jalan, jembatan, sekolah dan rumah sakit.

Dalam pengelolaannya pun harus berdasar prinsip halal haram. Akan dipastikan proses penambangan dan proses pengolahan tidak memberikan dampak sosial dan lingkungan yang merugikan bagi masyarakat. Maka jika solusi Islam kaffah (menyeluruh) bisa diterapkan niscaya Indonesia tidak perlu lagi mendapatkan APBN dari pajak ataupun hutang.**

Indriyatul Munawaroh
Aktivis Muslimah tinggal di Ponorogo, Jawa Timur

 

 


latestnews

View Full Version