View Full Version
Jum'at, 26 Apr 2019

Literasi untuk Negeri

BERAPA banyak diantara kita yang mengetahui tanggal 23 April ditetapkan sebagai World Book Day atau Hari Buku Sedunia? Bisa jadi anda baru tahu ketika membaca tulisan ini. Ya, 23 April ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Buku Sedunia dalam rangka untuk mengenalkan ruang lingkup buku yang dipandang sebagai penghubung antara masa lalu dan masa depan, serta menjadi jembatan antara budaya dan generasi. UNESCO juga menekankan peringatan ini bertujuan untuk memperjuangkan buku-buku dan merayakan kreativitas, keragaman dan akses yang sama terhadap pengetahuan. (Kaltim.tribunnews.com, 23/4).

Sebagaimana disinggung di awal, memang perayaan ini tidaklah begitu menggema sebesar gema perayaan hari lain sejenis, semisal hari wanita atau hari bumi yang diwarnai dengan berbagai aksi. Tidak mengherankan memang mengingat baik masyarakat hingga pemerintah sendiri tidak lagi menempatkan persoalan pengembangan budaya literasi di bagian terdepan. Padahal jika kita dalami, masalah rendahnya kemampuan berdiskusi, memahami teks, menganalisis kondisi hingga membedakan perkara haq dan hoax sangat bergantung kepada tingkat budaya literasi masyarakat.

Central Connecticut State University (CCSU) pernah melakukan survei di tahun 2016 pada 61 negara untuk mengukur tingkat literasi suatu negara dengan mengacu pada beberapa indikator yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer menemukan bahwa Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Hal ini berarti Indonesia hanya setingkat lebih baik perilaku literasinya dibandingkan satu negara yakni Botsnawa, sebuah negara di afrika yang bahkan juga sangat jarang kita dengar namanya. Hal ini akhirnya memunculkan pertanyaan, apakah memang seburuk itu?

Memandang persoalan ini tentu tidak hanya berkaitan dengan masalah per individu masyarakat Indonesia yang dicap malas membaca, menulis dan berdiskusi. Lebih dari itu, masalah ini tentu saja berkorelasi pula dengan pola pengaturan masyarakat yang dilakukan oleh negara. Kita perlu mengamati sejauh mana peran negara selama ini dalam menstimulus masyarakat terutama kalangan anak-anak dan pemuda/pemudi untuk tergerak mencintai aktivitas membaca, menulis dan berdiskusi.

Memang, kita tidak bisa meremehkan upaya negara yang telah menghadirkan perpustakaan di berbagai daerah, hanya saja perpustakaan yang dimaksud akhirnya bukan hanya sebuah gedung besar dengan kumpulan buku dan akses internet cepat yang ada di pusat kota. Seorang inisiator penggerak literasi di pelosok daerah dalam wawancara di portal detik.com (4/1) menyatakan bahwa sejatinya metode “jemput bola” dengan menghadirkan perpustakaan adalah lebih patut diutamakan bukan menunggu orang-orang mendatangi perpustakaan. Artinya akses perpustakaan memang sebaiknya ada di sekitar kita. Sayangnya, hal ini tak banyak diperhatikan oleh pemerintah, hingga akhirnya LSM-LSM sendiri yang harus bergerak.

Jika kita amati mendalam, cara ini memang cukup berhasil untuk menarik hati anak-anak di pelosok untuk mendekat pada perpustakaan bergerak yang akhirnya mulai dihadirkan dimana-mana, hanya saja bagaimana dengan nasib anak-anak di perkotaan? Kita pasti sudah familiar justru perpustakaan megah yang didalamnya terdapat jutaan buku tidak lebih menarik dibandingkan dengan mobile legend yang ada di tangan mereka. Mengamati alam atau mengutak-atik segala hal di alam secara fisik tidak lebih mengasikkan dibandingkan mengutak-atik aplikasi editing foto dan mengirimkannya ke akun instagram.

Maka persoalan ini bukan lagi hanya sekedar menghadirkan perpustakaan atau sekedar menjadikannya dekat. Persoalan ini justru sejatinya jauh lebih besar lagi, yakni pertarungan antara gejolak hawa nafsu dan ketundukkan. Hakikatnya, kemauan untuk meningkatkan kemampuan literasi memang harus hadir di diri individu masing-masing. Dorongan itu tidak hanya karena untuk mencapai kepuasan intelektual atau karena hobi.  Namun harus ada dorongan keimanan yang akhirnya menjadikan tak ada alasan untuk menjadi malas dalam membaca, menulis dan berdiskusi. Sebagaimana kita mengingat bahwa ayat pertama yang turun kepada Rasul adalah perintah membaca (iqro’).

“Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S Al-Alaq ayat 1-5)”

Perintah membaca akhirnya bukan sekedar memuaskan intelektualitas, namun mampu menjadi sarana memahami hingga mampu secara aplikatif meningkatkan keimanan dan menciptakan terobosan terbaik yang bermanfaat untuk umat secara luas. Slogan Rahmatan lil alamin atas Islam pun bukan lagi sekedar slogan.

Bukan hanya dari individunya, pemerintah juga haruslah concern dalam mengurusi persoalan ini. Hakikatnya, justru pemerintah lah yang harusnya paling utama mendorong peningkatan literasi. Patutlah kiranya menengok kembali cara Islam dimasa lalu menciptakan suasana keilmuan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat. Bahwa bukan dengan persuasi ringan yang jelas akan kalah dengan asiknya game online, tapi harus bersinergi dengan sistem pendidikan.

Sistem pendidikan bukan fokus hanya mencetak orang-orang yang mengejar ijazah untuk kemudian bekerja, atau sekedar menjadikan seorang entrepreneur yang dapat menghasilkan materi. Lebih dari itu pendidikan Islam dibangun dengan asas akidah Islam yang bertujuan membentuk manusia bertakwa yang berkepribadian Islam dan menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli di setiap bidang kehidupan untuk kemaslahatan dan kemajuan Islam. Maka tak perlu persuasi yang sulit, dorongan akidah tentang kemuliaan penuntut ilmu, kemuliaan orang yang bermanfaat dan janji pahala yang berlimpah sudah cukup mampu menjadikan diri tergerak untuk menggunakan waktu lebih banyak untuk menuntut ilmu dibandingkan dengan bermain-main.

Hal ini tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam negara yang justru memisahkan perkara agama dengan pendidikan. Pendidikan dengan dasar ini hanya akan menghasilkan orang-orang yang berpikiran pragmatis-materialistik. Mengukur manfaat hanya dari kemampuan diri menghasilkan materi hingga lupa kontribusi kepada umat sesuai standar ilahi. Jangan berharap tercipta individu yang memiliki kualitas literasi tinggi jika pemerintahnya sendiri justru menstimulus anak-anak aktif dalam permainan yang dapat menghasilkan uang. Maka sudah selayaknya individu dan masyarakat diatur dalam sebuah negara yang concern pada aktivitas wajib menuntut ilmu yakni Khilafah Islamiyyah.

Pengembangan budaya literasi memang hakikatnya adalah gerbang menuju peradaban cemerlang. Kita sepatutnya sadar, masa reinassence Eropa justru terjadi setelah mereka belajar dari giatnya penguasa dalam negara Khilafah mendorong dan memberikan fasilitas serta giatnya kaum muslim untuk belajar, berdiskusi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekarang justru sangat aneh, Indonesia sebagai negara mayoritas muslim justru menjadi terbelakang dalam ilmu pengetahuan. Sudahkah kita menganalisis? Atau justru untuk menganalisis maksud bacaan ini saja kita kesulitan. Hmm……**

Astia Putri, SE, MSA
Member Komunitas “Pena Langit”

 

 


latestnews

View Full Version