Oleh:
Astia Putri, SE, MSA, Member Komunitas “Pena Langit”
OBOR China ternyata telah memanas di bumi pertiwi. 26 April 2019 menjadi momen dibukanya kerjasama proyek besar bertajuk One Belt One Road (OBOR). Angkanya fantastis, 14 dari 23 proyek saja nilainya sudah mencapai US$14,2 miliar atau setara Rp201,4 triliun. Proyek ini menjadi proyek yang digadang-gadang dapat menstimulus cepat tumbuhnya ekonomi daerah yang menjadi tempat dibangunnya infrastruktur ini. Beberapa daerah utama yang rencananya akan dibangun infrastruktur adalah wilayah strategis di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali.
Ditekennya MoU proyek OBOR nyatanya tidak sepenuhnya menimbulkan keoptimisan rakyat dan berbagai pakar ekonomi, geostrategi dan politik secara khusus akan tujuan yang –katanya ingin dicapai tersebut. Pasalnya, kacamata yang dipakai telah mampu meneropong jauh kedepan dampak buruk yang massif akan ditimbulkan dari proyek ini, terlebih sebelumnya telah secara intens menatap kelam negara tetangga yang terjebak dalam lingkaran suram proyek panas ini.
Apa sebenarnya proyek OBOR ini? Proyek OBOR merupakan proyek pembangunan jalur-jalur sutra baru abad 21 dengan memperkuat infrastruktur pendukung perdagangan di titik-titik dan negara-negara yang dilalui. Dinamakan jalur sutera dikarenakan terinspirasi dengan rute perdagangan dari peradaban China kuno yang menjual komoditas utama berupa sutera.
Rute perdagangan ini dibuka sebagai sebuah konsekuensi atas globalisasi yang memastikan bahwa tidak akan ada negara yang dapat bertahan dengan menutup wilayahnya dari perdagangan bebas. Maka Indonesia, jelas tak mau ketinggalan. Pemerintah sendiri menegaskan akan mempermudah investasi dan koneksi dagang dari luar termasuk China.
Mudah sebenarnya melihat niat utama proyek OBOR yang digagas China hingga menjelajahi berbagai negeri di kawasan Asia dan Eropa. Kita bisa menengok pada ambisi besar China dalam upaya menjadikan kebangkitan ekonomi utama di dunia melebihi negara adidaya Amerika Serikat. Maka cara terbaik apa yang bisa ditempuh terkecuali melakukan ekspansi di berbagai negara?
Tentu sangat tidak mungkin China secara terang-terangan mendesak membeli wilayah Indonesia meski dengan berkapal-kapal yuan. Caranya halus, berikan pinjaman dengan bunga tinggi untuk membantu membangun infrastruktur, maka ketika negara tak mampu melunasi, amatlah gampang bagi China untuk mengambil alih kepemilikan atas proyek infrastruktur tersebut.
Inilah yang biasa kita sebut dengan debt trap yang sungguh membahayakan. Sri Langka, Zimbabwe hingga Nigeria hanyalah sedikit contoh negara yang terperangkap dalam jebakan ini. Sri Langka harus merelakan memberi izin penggunaan pelabuhan strategis kepada China selama 99 tahun karena tidak bisa membayar pinjaman. Zimbabwe bahkan harus bersedia terjajah secara massif dengan mengganti mata uangnya menjadi Yuan. Nigeria pun bernasib serupa, demi membayar utang harus rela menggunakan bahan baku dan mempekerjakan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur.1
China menyadari penguasaan wilayah ini takkan mampu dilakukan tanpa adanya kemampuan lobi politik-ekonomi yang handal. Adanya daya tarik berupa nilai-nilai bersama yang ingin diwujudkan berupa kemajuan, kesejahteraan hingga pertumbuhan ekonomi menjadikan Indonesia berhasil pada akhirnya menyetujui proyek kolonialisasi berkedok pinjaman ini. Kolonialisasi yang tidak hanya mengancam pada debt trap tapi juga persimpangan konflik yang menegangkan antara China dan AS dalam perebutan wilayah kekuasaan.
Sejatinya, cikal bakal proyek OBOR ini berasal dari strategi String of Pearls, yakni strategi China mengamankan jalur ekspor-impornya dari kawasan asal hingga ke tempat tujuan. Wilayah yang diincar adalah Laut China Selatan, Selat Malaka melintas Samudera Hindia, Laut Arab, Teluk Persia dan seterusnya hingga jika dilihat di peta membentuk untaian kalung (pearl).
Sayangnya, Selat Malaka, sebagai salah satu jalur perdagangan paling sibuk di dunia telah diramalkan menjadi wilayah kritis berkecamuknya perebutan antara AS dan China. Maka demi menghindari kemungkinan terburuk, China berinisiatif menggunakan akses jalur alternatif lain sebagaimana yang dirancang dalam proyek OBOR.2
Maka bukan dalam hal Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali merupakan wilayah yang dikatakan Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan sebagai wilayah yang perlu dibangun karena tingginya angka kemiskinan disana, melainkan perlu dicermati akan adanya pengaruh geopolitik penguasaan jalur yang akan merugikan Indonesia. Apakah mungkin sang Menteri tidak menyadari hal ini?
Seharusnya, perlu pertimbangan yang panjang dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan ini. Tidak sepantasnya fokus dengan adanya kepentingan politik-ekonomi di tahun pilpres ini hingga seolah dipaksakan “kejar target”. Ataupun jika tak mampu berpikir jangka panjang, semudah itukah pemerintah percaya pada kebaikan hati China kepada Indonesia padahal amat busuk kepada negara tetangga?
Maka tidak ada cara lain yang dapat ditempuh selain segera memutus proyek yang baru dimulai sebelum terlambat. Bukan hanya solusi jangka pendek ini, melainkan Indonesia pun haruslah berkomitmen dan berusaha keras terlepas dari jebakan kolonialisasi. Hal ini dapat ditempuh dengan upaya sekuat tenaga membangkitkan ekonomi rakyat secara mandiri.
Cara yang ditempuh tentu bukan dengan pengaturan khas manusia yang lemah dan serba terbatas, namun pengaturan yang datang dari ketundukkan iman kepada Sang Maha Kuasa melalui negara yang menerapkan syariat Islam secara total. Allah SWT telah menurunkan seperangkat aturan yang khas dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pengelolaan ekonomi.
Berkaitan dengan pembangunan negara, strategi pembangunan dimulai dari sektor hilir baru ke sektor hulu, artinya dimulai dengan mewujudkan industri berat dan strategis terlebih dahulu baru ke sektor yang lebih ringan. Mengapa demikian? Karena jika dimulai dari sektor hulu (semisal pertanian), negara memerlukan sarana dan alat produksi. Jika negara belum memilikinya maka tidak ada pilihan lain yang ditempuh selain impor yang jelas memerlukan dana. Maka lagi-lagi debt trap tak dapat terhindarkan.
Jika begini, lalu dari mana sumber pendanaan pembangunan? negara bisa memanfaatkan dana Baitul Mal. Dana ini berasal dari kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara ditambah kekayaan milik negara. Pengeloaan ini mengandalkan partisipasi rakyat hingga secara langsung membuka lapangan pekerjaan untuk rakyat sendiri. Apakah mungkin rakyat mampu melakukan?
Tentu, jika berkaca pada sumber daya manusia yang tergilas pemikiran kapitalisme-materialisme, ini adalah hal yang sulit. Berbeda dengan sistem negara Islam yang memastikan peri’ayahan umat dengan mengoptimalkan fungsi dan peran peneliti, intelektual hingga teknisi dalam membangun negara dengan semangat keimanan. Maka rahmat dan keberkahan pun akan datang dari langit dan bumi tidak hanya untuk muslim namun untuk seluruh alam.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS. Al-A’raf : 96)
Catatan Kaki:
1 Fajar Kurniawan, Tolak Proyek Obor China, Media Umat
2Arief Pranoto, Mengapa OBOR Mengincar Infrastruktur di Sumut, Sulut, Kaltara dan Bali? www.jarilangit.com