View Full Version
Rabu, 08 May 2019

Revolusi Mental, Impian yang Gagal?

DUNIA pendidikan kita, seolah tak henti-hentinya dirundung kegelisahan. Negeri ini telah banyak dikejutkan dengan peristiwa yang mencoreng wajah pendidikan. Merebaknya kasus video porno di kalangan pelajar, tawuran, narkoba, miras, zina, praktik kekerasan senior terhadap junior, etika pelajar yang jauh dari kata santun terhadap gurunya, serta kasus terakhir yang viral bahwa sekelompok pelajar SLTA ikut tergabung dalam aksi vandalisme pada hari buruh kemarin, dan masih banyak krisis karakter yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini.

Lantas, mengapa hal tersebut masih banyak terjadi? Bukankah seharusnya kita merayakan kebahagiaan hari pendidikan di tanggal 2 Mei? Bukankah gagasan pendidikan karakter bangsa dan revolusi mental pun telah lama digaungkan oleh pemerintah kita?

Penerapan sistem demokrasi dan ideologi kapitalisme sesungguhnya merupakan masalah dasar akibat munculnya berbagai permasalahan yang terjadi dengan manusia dan aturan yang dibuatnya. Berbagai tindakan buruk manusia, lahir dari cara pandang terhadap kehidupan, dan adanya aturan yang lahir dari cara pandang tersebut. Saat bangsa ini menganut sistem demokrasi, maka bisa kita saksikan dan rasakan, bahwa aturan yang diterapkan masyarakat adalah aturan liberal. Salah satunya termasuk dalam hal pendidikan.

Tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya beriman dan bertakwa. Namun apabila dicermati, banyak kebijakan dalam dinamika pendidikan yang justru kontradiktif. Misalnya, aktivitas yang mengarah pada liberalisasi perilaku difasilitasi, sementara kegiatan rohis dan keagamaan dicurigai dan dilarang.

Konten pelajaran yang mengarah pada pemahaman Islam kaffah dihilangkan, sementara konten liberal dan merusak moral secara vulgar dibiarkan. Upaya pembungkaman rohis dan aktivis dakwah di sekolah, pesantren, dan masjid kampus dilakukan secara massif, sementara kegiatan-kegiatan hedonis disemarakkan.

Jika hal demikian terus terjadi, maka anak bangsa yang menjadi investasi peradaban akan berada di ujung tanduk kerusakan. Gagasan pendidikan karakter bangsa serta revolusi mental hanyalah sebatas slogan yang pada realitasnya justru menghantarkan manusia pada kehancuran moral, dan semua hanya sebatas impian yang gagal. Bila pendidikan dijadikan tumpuan untuk membangun karakter bangsa unggulan, sementara sistem besar yang menjadi pilar tegaknya pendidikan ini berorientasi pada sekulerisme dan kapitalisme, akankah berhasil? Jawabannya tentu tidak, sebab tumpuan ini begitu rapuh. Orientasi pendidikan sudah dibalut dengan kepentingan ideologi kapitalis.

Allah Swt. melarang kaum Muslim mengikuti hukum jahiliyah, dan sebaliknya memerintahkan untuk menerapkan Islam secara sempurna. Allah Swt. berfirman dalam Qur'an Surat Al-Maidah ayat 50, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" Oleh sebab itu, kurikulum dan kebijakan pendidikan haruslah berpijak pada pengokohan akidah, penguatan kepribadian Islam, dan fakih dalam agama serta tinggi dalam sains dan teknologi. Sosok yang dihasilkan adalah pribadi yang berkarakter ulama sekaligus ilmuwan. Kebijakan negara didukung oleh kurikulum integral yang berbasis akidah Islam, kegiatan sekolah, dan lingkungan yang kondusif.

Sudah saatnya, umat Islam secara keseluruhan harus mencurahkan segenap tenaganya untuk mewujudkan tatanan kehidupan Islam. Semua itu dilakukan demi menyambut seruan Allah Swt. dalam Qur'an Surat Al-Anfal ayat 24, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu...". Maka, lahirnya generasi unggul hanya dapat terwujud dengan menerapkan sistem pendidikan Islam dalam wadah Khilafah Rasyidah. Wallaahu A'lam Bisshawab. []

Indri Lestari, S. Pd

Pengajar


latestnews

View Full Version