BARU-BARU ini kita dikagetkan dengan sebuah trailer film KTI (Kucumbu Tubuh Indahku). Film yang menceritakan seorang lelaki yang berprofesi sebagai penari lengger lanang itu, di duga berorientasi pada gerakan LGBT.
Pemutaran film ini, banyak menuai kecaman dan penolakan keras dari berbagai kalangan, termasuk para ulama dan tokoh-tokoh Masyarakat. Pasalnya tayangan ini dinilai berisi konten negatif, merusak moral, bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran dan nilai agama. Serta tidak memberikan edukasi yang baik, sekalipun film tersebut mendapatkan penghargaan di tingkat internasional dan nasional.
Karenanya, Rakhmi Marshita memprakarsai petisi penolakan film KTI itu yang dimuat change.org yang ditujukan ke komisi penyiaran Indonesia dan sudah ditandatangani lebih dari 5800 orang pada jumat 26 april. Yang isinya menyatakan seruan untuk memboikot film ini, karena ini dinilai mendukung kehadiran lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT) (beritasatu.com).
Apa yang dilakukan rakhmi bukan tanpa tujuan, ia melakukan itu untuk mencegah terjadinya kerusakan moral, akibat yang ditimbulkan setelah menonton tayangan KTI.
Menanggapi petisi dan penolakan penayangan filmnya itu, Garin Nugroho yang menjadi sutradara KTI, sontak angkat bicara melalui akun instagramnya, seperti yang dilansir Beritasatu.com. Garin menanggapinya dengan judul "keprihatinan atas petisi sebagai penghakiman massal dan sensor massal terhadap karya dan pikiran atas keadilan". Ia mengatakan penghakiman massal yang dilakukan via media sosial berkali terjadi pada karya seni dan karya atas keadilan. Anarkisme massa tanpa proses akan mematikan daya pikir terbuka serta kualitas harga bangsa, memerosotkan daya kerja serta cipta yang penuh penemuan warga bangsa, serta mengancam kehendak atas hidup bersama untuk hidup bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sebagai tiang utama demokrasi.
Jika melihat lebih dalam, apa yang dikatakan garin. Kita harus bertanya mengapa segenap kalangan menolak karya itu?
Keberadaan karya atau kreativitas maupun seni sudah sepatutnya di apresiasi jika karya itu memberikan inspirasi kebaikan, berisi konten yang membangun, positif memajukan karya-karya indonesia, dan tentunya adalah hasil karya yang dihasilkan dapat menambah ketaatan pada sang ilahi. Namun sebaliknya jika ada karya dan hasil seni justru memberikan dampak yang negatif bagi generasi, mengajak pada keburukan, kering dari nilai-nilai moral terutama nilai agama, dan mengajarkan generasi bermoral krisis akidah. Tidak sepantasnya mendapatkan apresiasi lebih-lebih mendapatkan penghargaan bahkan wajib harus ditolak dengan keras karya/seni dan kreativitas semacam ini. Karenanya apresiasi dan penghargaan tidak berlaku pada pada film ini.
Pantaskah memberikan apresiasi dan penghargaan?, jika judul film nya saja sudah sangat vulgar. Memancing shawat bagi orang yang bermental kotor dan memiliki penyakit hati dalam dirinya. Maka jika muncul penolakan, berarti ada yang salah dengan hasil karyanya. Atas dasar itu harusnya sudah cukup menjadikan kita berpikir.
Keberadaan film ini ada upaya untuk menggiring opini dan mengampanyekan gerakan yang berorientasi pada LGBT agar diterima oleh masyarakat luas dan mendukung gerakan tersebut. Seolah-olah gerakan tersebut biasa, tidak berbahaya, harus ditoleransi dan dimaklumi atas nama kebebasan. Kebebasan dalam hal berinovasi dan berkreativitas menciptakan karya/seni sebagai keterbukaan pikiran yang mengutamakan keadilan dalam berdemokrasi.
Praktis, kemunculan film ini semakin menunjukkan bahaya yang mengancam generasi.ditengah banyaknya masalah kerusakan moral yang melanda generasi muda. Film ini akan menambah deretan kerusakan. Karya yang harusnya memberikan kontribusi yang positif, justru menjadi karya yang mengancam bahkan membahayakan prinsip-prinsip kehidupan sosial bahkan kehidupan negara.
Inilah jahatnya dan buruknya buah dari sistem demokrasi, memproduksi orang-orang didalamnya hanya mementingkan nilai materi atas nama karya kreativitas tanpa memperhitungkan apakah suatu karya dapat memberikan kontribusi yang positif atau malah mendatangkan kerusakan dan dampak negatif membahayakan bagi generasi, menjadi tidak diperhatikan lagi. Asas manfaat menjadi tolak ukur perbuatannya, standart halal dan haram harus dipojokkan. Maka tak heran konten industri hiburan yang merusak marak dan tumbuh subur. Inilah wajah demokrasi.
Sekularisme yang membuka keran sebesar-besarnya untuk meraup keuntungan pada hasil karya tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan akan merusak tatanan hidup atau tidak, menjadi perkara yang nihil untuk diperhatikan. Kapitalisme menjadikan menjadikan ladang bisnis pada industri perfilman, vidio game, hiburan, dll. Lembaga analisis comScore melaporkan pendapatan dari hasil penjualan tiket box office AS tahun 2018 diseluruh dunia berada di angka 41,7 miliyar dolar atau setara dengan Rp 590 triliun. Sementara industri vidio game meraup keuntungan 43,8 miliyar dolar atau Rp 620 triliun (KOMPAS.com). Indonesia khususnya, hasil dari industri perfilman memberikan kontribusi sebesar 845,1 juta dolar AS dan pemasukan pajak sebesar 86,5 juta dolar AS.
Sungguh angka yang sangat fantastis dan menggiurkan bagi lidah para kapitalis. Maka tak heran kapitalisme memproduksi orang-orangnya bermental materi dan miskin SDM (Sumber Daya Manusia). Betapa banyak manusia tergerus akibat dari diterapkan kapitalisme-liberarisme sehingga dengan kemunculan industri-industri semisal perfilman, vidio game, dan hiburan justru keberadaanya mengancam mereduksi SDM. Semua ini dikarenakan kapitalisme berdiri diatas landasan pemisahan agama dari kehidupan, menjadikan tujuan tertinggi atau tingkat kebahagiaan manusia terletak pada pemenuhan kebutuhan biologis dengan mengumpulkan dan menumpuk kekayaan materi sebanyak-banyaknya. Asas manfaat menjadi tolak ukurnya. selama mendatangkan manfaat, maka idustri-industri hiburan akan tetap dilakoni sekalipun itu akan mereduksi SDM dan menciptakan kerusakan massal.
Islam sangat mengapresiasi karya dan kreativitas
Berbeda dengan kapitalisme, Islam justru sangat memperhatikan para penghasil karya. Negara akan memberikan pengahargaan bagi para ilmuwan yang berjasa menghasilkan karya-karya yang berguna dan bermanfaat bagi umat. Negara akan menyediakan sarana dan fasilitas untuk menunjang karya-karya mereka. Bahkan negara mendorong umat agar berinovasi dan berkeasi dalam berbagai bidang selama tetap berada dalam koridor hukum syara membolehkan. Hal ini dikarenakan syara membolehkan madaniyah (sains dan teknologi) adalah bentuk dan sarana yang digunakan manusia untuk mempermuda aktivitasnya. Namun patut diperhatikan tidak semua madaniyah boleh diambil. Madaniyah yang bersifat khas (berisi cara pandang, ide, atau kumpulan pemahaman terkait dengan kehidupan suatu kaum) maka tidak boleh diadopsi. Contohnya gaya hidup barat, hukum dan undang-undang demokrasi, pemikiran karl maks, teori adam smit merupakan madaniyah yang bersifat khas dan islam mengharamkan untuk mengambilnya karena bertentangan dengan syara.
Karenanya karya film yang mengeksploitasi kecantikan tubuh wanita, penyimpangan seksual, ataupun karya seni patung akan dilarang.Karya atau fim-film yang menyajikan tayangan yang dapat merusak akal, moral dan akidah maka tidak diperbolehkan sama kali, bahkan tutup pintunya, sampe dicabut izinnya bagi para produser fim jika diketahui masi tetap nekat menayangkan tayangan yang merusak akal, moral, dan akidah. Tayangan semisal penyimpangan seksual, homoseksual yang dapat membangkitkan sahwat tidak akan dibiarkan berseliweran. Sistem pergaulan akan terjaga, pintu-pintu zina ditutup, konten-konten asmara yang akan membuat umat terlena dan lalai dari taat pada rabb-Nya akan dicegah, produksi-produksi miras dan narkoba yang merusak akal tidak dibiarkan operasi, dan segala jenis industri-industri hiburan yang berorientasi merusak akidah akan dihapuskan.
Begitulah cara islam menjaga, melindungi dan mengayomi umat. Islam melakukan pencegahan (preventif) sebelum terjadi hal-hal merugikan dan merusak tatanan hidup. Semuanya akan tercapai jika syariat islam diterapkan secara kaffah melalui tegaknya pemerintahan Islam. Walahu'alam.*
Sumarni, S.Pd
Anggota Komunitas Menulis Untuk Peradaban