View Full Version
Sabtu, 11 May 2019

Hemat Listrik Versus Proyek 35 Gigawatt

 

Oleh: 

Ari Sofiyanti, Alumnus Biologi Unair

 

VIRAL film Sexy Killers telah membongkar fakta mengenai bisnis pertambangan batu bara  yang dikuasai oleh sejumlah elit politik. Masalahnya, bisnis "seksi" ini telah membawa dampak luar biasa mematikan bagi masyarakat di sekitar pertambangan dan lingkungan. Mulai dari hilangnya mata pencaharian masyarakat, konflik pembebasan lahan, hingga kematian anak-anak akibat lubang bekas galian tambang yang tidak direklamasi.

Film ini, di awal narasinya mengajak kita melihat bagaimana sumber energi listrik didapatkan dari batu bara sehingga kita bisa menikmati kemudahan beraktivitas dengan energi listrik dan ternyata di balik kemudahan itu banyak penderitaan masyarakat. Melihat fakta miris ini, kita semakin sadar akan pentingnya menghemat listrik. Sudah sewajarnya kita menggunakan seperlunya dan tidak menyia-nyiakan energi listrik.

Baiklah, kita sudah menghemat energi listrik dengan tujuan mengurangi eksploitasi sumber daya batu bara. Akan tetapi apakah upaya kita ini bersinergi dengan kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ini?

Salah satu terobosan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo adalah megaproyek pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt. Proyek ini mulai digarap pada tahun 2015 dan ditargetkan selesai pada tahun 2019. Namun, karena pertumbuhan konsumsi di bawah perkiraan, pembangunan proyek ini pun mundur dari jadwal.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Laode Sulaeman mengatakan adanya penundaan proses konstruksi dikarenakan kelebihan kapasitas sebesar 30%. Jika tetap diselesaikan semua di tahun 2019, kelebihan kapasitas akan menjadi 60-80% yang berakibat overinvestment. Pemerintah telah berinvestasi banyak, tetapi konsumen yang memakai listrik tidak ada.

Proyek tersebut sempat menjadi pro dan kontra di negeri ini. Pemerintah mengklaim 35 gigawatt sudah sesuai dengan kebutuhan listrik nasional hingga 2019. Seperti yang disampaikan oleh  Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan untuk tidak merevisi target jumlah daya, meskipun kini target 35.000 MW di 2019 tidak tercapai.

Berbagai pihak juga telah memperingatkan bahwa target tersebut terlalu besar karena kebutuhan listrik di Indonesia dalam lima tahun ke depan maksimal hanya 16 ribu MW. Artinya akan ada kelebihan 19 ribu MW. Padahal listrik yang terlanjur diproduksi produsen swasta (Independent Power Producer/IPP) yang berkontrak dengan PLN tetap harus dibeli oleh perusahaan itu meskipun tidak terserap pasar berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA). Hal ini juga dikatakan oleh Rizal Ramli mantan menko maritim. “PLN harus bayar 72% listrik dari listrik yang tidak terpakai."

Akibatnya, PLN  menghapus sebagian besar kelas golongan pelanggan listrik Rumah Tangga (RT) bagi penerima nonsubsidi. Nantinya, pelanggan nonsubsidi hanya akan terbagi pada dua kelas golongan, yakni 4.400 VA dan 13.200 VA. Bahkan masyarakat kategori Rumah Tangga dipaksa menambah daya ke yang lebih tinggi, karena kategori 900-2.200 VA akan ditiadakan, dan minimum pelanggan kategori 4.400 VA. Perubahan ini tentu juga akan diikuti dengan kesiapan infrastruktur terutama instalasi kabel yang sudah terpasang di rumah–rumah pelanggan PLN sekarang juga perlu di benahi ulang akibat peningkatan daya tersebut.

Jika tidak maka kemungkinan besar akan timbul masalah bahaya kebakaran akibat instalasi kabel listrik sekarang tidak mampu menahan beban daya listrik yang besar. Sementara itu, penduduk pedalaman masih sulit mengakses listrik atau jika listrik terpasang pun masyarakat pedalaman tidak mampu membelinya karena biayanya yang fantastis.

Selain itu, industri-industri lah yang nanti akan digalakkan  untuk berdiri di Indonesia supaya kelebihan suplai energi listrik tersebut dapat terserap. Namun pertumbuhan industri di negeri ini sangat merugikan rakyat dan lingkungan karena banyak yang tidak mematuhi aturan AMDAL dan sering melanggar hak rakyat yang akhirnya berujung pada kasus yang sama dengan tambang batu bara di Kalimantan.

Dari sini kita melihat bahwa kebijakan pemerintah soal kelistrikan dengan membangun proyek 35 gigawatt tentu saja jauh dari kata efektif dan efisien. Jangankan efektif dan efisien justru adanya proyek itu malah menimbulkan masalah baru. Pemerintah malah tidak sinkron dengan kesadaran masyarakat untuk menghemat pemakaian energi listrik.

Peran pemerintah yang sesungguhnya meriayah atau mengurusi seluruh urusan rakyat. Pemerintah dalam membangun fasilitas tentu akan memperhatikan apa saja, dimana, dan berapa kapasitas yang dibutuhkan oleh rakyat. Bukan sekadar membangun fasilitas tanpa target yang jelas atau asal teken yang penting dia mendapat keuntungan sementara rakyat yang jadi korban.

Sungguh, kini kita semakin merindukan pemimpin yang amanah dan mampu menghadirkan solusi tuntas dan benar dari islam. Yaitu Pemimpin yang taat kepada Allah. Pemimpin yang tidak ingin meraup keuntungan duniawi dari kepemimpinannya tetapi ingin meraih ridho ilahi semata. Bersinergi dengan individu dan masyarakat yang juga taat pada Allah, maka kita akan memanfaatkan sumber daya yang telah diberikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya tanpa kesia-siaan.

Kemudian para pemimpin haruslah memahami peran dan tanggungjawabnya sebagaimana kisah teladan dari khalifah Umar bin Khattab yang sangat hati-hati dalam membelanjakan harta negara. Beliau bahkan mematikan lampu minyak di ruangan kantornya ketika anaknya mengunjunginya di malam hari untuk membicarakan masalah keluarga. Umar sungguh khawatir beliau menghabiskan minyak lampu yang berasal dari uang rakyat ketika sedang membicarakan masalah pribadi bersama anaknya.

Karena sesungguhnya amanah kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat berat dan dia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya terhadap satu persatu individu yang dipimpinnya kelak di hari penghisaban. Itulah pemimpin kaum muslim yang harus kita wujudkan.

"Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad). Wallahu a'lam.*


latestnews

View Full Version