"Making Indonesia 4.0” adalah slogan yang diluncurkan Kementerian Perindustrian. Dengan slogan ini diharapkan Indonesia bisa berjalan beriringan dengan negara-negara lain di dunia yang sudah lebih dulu mengadopsi Revolusi Industri (RI) 4.0, sehingga Indonesia yang maju bisa diwujudkan. Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara “Indonesia Creative Cities Network” di Bandung beberapa waktu lalu. Jokowi menyebut Bandung sebagai kota yang paling siap dan terdepan di Indonesia dalam mewujudkan RI 4.0. Dan yang paling banyak merespon RI 4.0 adalah anak muda.
Pemerintah berorientasi penerapan RI 4.0 ini bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah agar para pelajar mampu menghadapi tantangan RI 4.0 ini. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Generasi muda kita saat ini justru menjadi obyek (target sasaran) RI 4.0, bukan sebagai subyek (penentu).
Mereka kini menjadi sasaran empuk industri game. Ironisnya, Pemerintah malah mendukung turnamen e-sport/gaming Piala Presiden. Pemerintah menutup mata betapa banyak generasi milenial yang rusak akibat e-sport, gaming, juga konten maksiat. Sudah banyak jatuh korban yang membutuhkan pertolongan, tapi sampai saat ini belum ada rumah sakit atau praktisi medis yang menyiapkan rehabilitasi para pecandu game.
Inilah akibat jika kemajuan teknologi tidak didasari aqidah yang shahih. Teknologi yang seharusnya membawa kemaslahatan justru menjadi ancaman yang berbahaya bagi manusia. Teknologi yang seharusnya menjadi wasilah untuk terwujudnya rahmat bagi seluruh alam, namun dalam kendali sistem kapitalisme yang memiliki landasan sekulerisme, kemajuan teknologi dimaknai sebagai sarana untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran biaya sekecil-kecilnya. Akhirnya, Revolusi Industri 4.0 di negeri ini jauh panggang dari api, tidak memberi kemaslahatan bagi masyarakat.
Negara tak mampu melindungi warganya dari serangan industri game global. Tidak ada regulasi yang membatasi industri game, bahkan sebaliknya didukung pemerintah sebagai industri kreatif yang lebih menggiurkan keuntungannya daripada industri film, yaitu mencapai lebih dari Rp 10 trilyun per tahun. Sebuah angka yang membelalakkan mata serakah kapitalisme. Industri media yang memanfaatkan kemajuan teknologi RI 4.0 sungguh dianggap sebagai sumber pundi-pundi emas negara-negara kapitalis yang mengendalikan bisnis ini. Ini bentuk penjajahan gaya baru, yang menjadikan negara-negara Muslim sebagai target market mereka.
Pernahkah kita bayangkan bagaimana masa depan negeri ini? Kita bisa saksikan bagaimana dalam sehari saja ribuan bahkan lebih konten-konten negatif menyerang generasi muda dan usia produktif, termasuk di dalamnya game dan e-sport. Dampak kecanduan sudah mewabah, hingga mengakibatkan gangguan mental.
Game dan medsos dianggap bertanggung jawab terhadap maraknya kriminalitas, kekerasan, dan pergaulan bebas. Bahkan tragedi di Selandia Baru beberapa waktu lalu disinyalir terinspirasi permainan game online. Di dalam negeri sendiri pun tak kalah mengenaskan kisah-kisah para korban kecanduan medsos dan game online. Ada yang orang tuanya harus membayar tagihan jutaan rupiah, ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa, ada yang putus sekolah, drop out dari kampus ternama, dan lain-lain.
Semua ini membutuhkan solusi segera, dan tidak ada cara lain selain harus melibatkan tiga pilar dalam masyarakat, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara. Di tangan individu yang bertakwa, teknologi akan memberi output yang baik bagi diri dan lingkungannya. Untuk itu, tidak bisa tidak generasi muda kita harus terbina akal dan jiwanya dengan Islam. Kemudian, dakwah berjalan di tengah masyarakat sebagai kontrol. Negara pun memegang peran penting sebagai pengendali demi melindungi rakyatnya. Tentu tugas ini tidak dapat dilakukan oleh negara yang tidak berideologi kuat dan benar. Tugas ini hanya bisa dilakukan oleh negeri yang menerapkan Islam secara kaffah.
Masihkah kita berharap pada sistem kapitalis liberal ini untuk menyelamatkan generasi? atau menunggu hari demi hari generasi kita rusak pemikiran dengan jiwanya? Justru sistem yang diterapkan di negri kita saat ini adalah biang kerok semua masalah ini. Kerusakan sudah nyata, Allah mengingatkan kita agar segera kembali kepada islam, membina generasi, anak-anak kita dengan islam agar terbentuk kepribadian islam yang mampu membentengi akal & jiwa mereka dari arus liberalistik..
Jangan terbawa arus hasutan barat kaum liberal, dan islamphobia tentang wajah buruk sistem Islam Bukalah mata siapa sesungguhnya pembuat kerusakan? Padahal sesungguhnya pemimpin Islam hadir sebagai perisai rakyatnya, menjaga agar tidak ada celah sedikitpun yang bisa merusak aqidah sudah tentu termasuk game dan konten negatif. Pemimpin Islam memiliki departemen media yang bertugas mengawasi dari media yang tak sesuai syariat. Kita diam pada sesuatu yang jelas bahayanya seperti industri game online, tapi kita takut dan merasa terancam dengan sesuatu yang mungkin kita belum mengenalnya. Kepemerintahan Islam sesuatu yang kita lupakan. Hari ini tumbuh gelombang di dunia untuk mengembalikannya seiring kegagalan kapitalisme membentuk tata dunia baru yang damai sejahtera. wallahu'alam bish shawab.*
Rengganis Santuka
Ibu rumah tangga tinggal di Bandung, Jawa Barat