MENJELANG satu semester di tahun 2019, pilu kita mendengar kasus perundungan yang sangat viral di kalangan pelajar dan mahasiswa. Korban perundungan dimulai di Januari kepada peserta ospek calon pasukan pengibar bendera (paskibra) dengan terpaksa memakan makanan encer dari sebuah ember hingga muntah-muntah.
Perundungan fisik ada yang berakhir tewas, seorang taruna ATKP Makasar, dengan alasan korban tidak menggunakan helm saat berkendara. Guru pun ada yang menjadi korban perundungan dari siswanya sendiri seperti yang terjadi di Gresik. Hingga yang baru-baru ini menyita perhatian secara nasional, kasus perundungan yang dialami siswi SMP di Pontianak. AU menjadi korban atas perundungan oleh 12 siswi SMA, dipicu dari ejekan dan sindiran di media sosial. Tiga pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka.
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, perundungan berarti proses, cara, perbuatan merundung yang dapat diartikan sebagai seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah darinya. Biasanya dengan memaksanya untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Bentuknya bisa berupa perundungan fisik, verbal, sosial, cyberbullying dan seksual atau gabungan diantaranya.
Kasus-kasus terkait perundungan seksual khususnya, akan memperbesar alasan desakan kaum feminis radikal mendesak legislasi pencegahan kekerasan seksual yang tempo hari telah meramaikan jagat maya, padahal menyimpan banyak kemudhorotan dan tanda tanya. Diperparah dengan melihat kasus fatal diperkecil dengan mengatakan hanya kenakalan remaja bahkan pelaku masih dikategorikan sebagai anak dibawah umur. Padahal di dalam Islam, batasan anak dan orang dewasa adalah baligh, bukan umur semata. Mengalami perubahan fisik dan psikis perlahan saat menstruasi dan mimpi basah terjadi. Ia mulai terbebani hukum (menjadi mukallaf) sebagaimana orang dewasa lainnya. Hukum Islam hari ini tidak ditegakkan untuk memberikan efek jera dan peringatan bagi yang lainnya. Jika berlandaskan sistem ‘uqubat dalam Islam bahkan sanksi bernilai penggugur dosa.
Sejarah dapat berbicara banyak untuk kita mengupas penyebabnya. Sekulerisme adalah satu yang direkomendasikan Snouck Hurgronje dalam buku De Atjeher (1893) untuk mendukung kolonialisasi di nusantara. Sekulerisme ini masuk pada bidang pendidikan. Hurgronje ingin secara perlahan islam tidak mewarnai pendidikan di sekolah-sekolah yang mendidik rakyat pribumi. Dan terus menerus dunia pendidikan di Indonesia diwarnai sekulerisme hingga kini. Agama, sains, humaniora, semua ada pelajarannya tapi tidak saling terkait dan Islam tidak bisa pengaruhi pelajaran lainnya.
Begitu juga dalam penerapannya di kehidupan, Islam sebatas ritual saja yang ditumbuhsuburkan, tapi tidak untuk islam politik. Kurikulum agama yang menjadi produk politik, hanya formula yang formalitas. Mengajarkan ritual ibadah dan akidah ruhiyah. Sehingga budi pekerti, karakter kebangsaan sampai revolusi mental, tidak mencerminkan apa yang didapat di bangku sekolah. Tak sangkupnya tenaga pendidik dan peserta didik mengaitkan Islam dengan segala ilmu formal itu, tak bisa disalahkan. Itulah hebatnya sistem. Akan resistance dengan upaya terus menerus menggabungkan Islam dengan kehidupan.
Sebaliknya, ketika Islam menjadi pedoman pelaksanaan sistem, iklim ketaqwaan ada di segala sendi kehidupan. Memunculkan optimisme terhadap keunggulan generasi yang lahir dari peradaban Islam. Untuk mengulang sejarah kejayaan Islam masa Rasulullah, Khulafaurrasyidiin dan Kekhalifahan Islam setelahnya. Generasinya tak hanya unggul dalam pola fikir (aqliyah), namun juga pola sikap (nafsiyah), keduanya membangun kepribadian Islam (syaksiyah Islamiyah). Keunggulan inilah sebagai penjaga tiap individu warga negara untuk bertaqwa dan berkontribusi. Negara memfasilitasi penjagaannya sehingga ketika pelanggaran terjadi ada mekanisme sistem sanksi sesuai syariat Islam.**
Zawanah Filzatun Nafisah
Komunitas Pena Langit, Master of Social candidate