GURU adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah gelar yang tak biasa. Sebab, tugas dan tanggungjawabnya amatlah luar biasa. Ialah penentu kualitas generasi bangsa ini. Baik buruknya guru akan berdampak pada generasi yang dididiknya. Itulah mengapa guru itu digugu lan ditiru. Digugu ilmunya, ditiru perilakunya.
Begitu besar pengorbanan guru dalam mewujudkan generasi yang berkarakter dan berprestasi. Tanpa guru, tak ada ilmu yang diajarkan. Karena guru adalah penyampai ilmu laksana pelita di gelap gulita. Setingi-tingginya jabatan seseorang ia tak akan sampai pada jabatan tersebut tanpa seorang guru. Sepintar-pintarnya seseorang ia tetaplah membutuhkan guru untuk mengajarkannya ilmu.
Tuntutan beban dan tanggung jawab seorang guru begitu tinggi. Selain harus membentuk generasi cerdas dan beradab, mereka juga harus berjibaku melawan kerusakan moral akibat kehidupan sekular, liberal, dan kapital. Tak jarang kita jumpai kasus kekerasan, pelecehan hingga pembunuhan mewarnai kelamnya dunia pendidikan kita. Terlebih tantangan guru meghadapi era globalisasi. Guru dituntut bekerja profesional dan kekinian. Tak gagap teknologi dan ketinggalan zaman.
Hal itulah yang melatarbelakangi wacana impor pelatih asing untuk guru bangsa. Wacana itu mengemuka setelah Menteri PMK, Puan Maharani saat menghadiri diskusi Musrenbangnas di Jakarta, Kamis (9/5/2019). "Kita ajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia," katanya.
Mendikbud, Muhadjir Effendy, mengatakan guru yang didatangkan dari luar negeri bertujuan untuk melatih guru-guru maupun instruktur yang ada di Tanah Air. Menanggapi wacana itu, respon pun bermunculan. Salah satunya dari Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rasidi. Ia menolak tegas rencana impor guru. Menurutnya, hal itu mengancam nasionalisme dan rasa keadilan terhadap guru honorer. Wacana itu memang menimbulkan polemik baru di tengah kemelut masalah yang menggelayuti Indonesia. Hal ini terjadi karena:
Pertama, sistem saat ini belum mampu memunculkan guru berkualitas dalam aspek Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan Imtak (Iman dan Takwa). Di alam sekularisme, menghasilkan sosok guru beriman dan bertakwa sangat sulit. Faktor agama tak menjadi ukuran seorang guru. Yang penting lulus ujian, memiliki gelar, dan sertifikat mengajar. Dalam lingkungan kapitalis, meraih gelar setinggi-tingginya di dunia pendidikan haruslah bermodal materi yang cukup. Meski, ada pula yang tanpa modalpun bisa meraih gelar tinggi. Itupun jarang.
Kedua, jumlah sarjana pendidikan di Indonesia cukup besar. Tak cukupkah memberdayakan SDM dalam negeri untuk meningkatkan kualitas guru bangsa disini? Sampai harus mendatangkan instruktur dan senior expert dari luar negeri. Indonesia memiliki banyak instruktur pendidikan yang cakap dan mumpuni. Jadi, wacana itu nampaknya perlu dikaji lagi. Sebab, orang-orang cerdas di Indonesia masih banyak. Hanya saja negara belum memberdayakannya secara maksimal.
Ketiga, mendatangkan guru luar negeri tentu menambah beban biaya negara. Sementara, nasib guru honorer masih terkatung-katung. Alangkah baiknya biaya guru luar negeri itu dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru honorer yang gajinya jauh dibawah standar. Masih banyak guru honorer yang mendapat gaji jauh dari kelayakan.
Masalah pendidikan kita bukan sekadar soal profesionalisme guru saja, akan tetapi semua aspek juga harus menjadi perhatian. Revitalisasi seluruh komponen pendidikan adalah hal mendasar yang harus dilakukan. Utamanya asas dari sistem pendidikan itu sendiri. Mulai dari regulasi, manajemen, SDM, fasilitas, kesejahteraan, layanan pendidikan hingga pembentukan karakter peserta didik.
Dalam Islam, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Membentuk keshalihan personal dan komunal bagi para guru dan siswa. Melayani dan memfasilitasi generasi agar berilmu dan berakhlak mulia. Memberi kesejahteraan bagi para guru dengan gaji yang layak. Semuanya akan terwujud manakala Islam dijadikan sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara mandiri dan berdikari membangun peradaban gemilang. Tanpa ada ketergantungan terhadap asing dan peradabannya.**
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban