View Full Version
Jum'at, 17 May 2019

Politik Takwa Meniadakan Politik Uang

PESTA demokrasi telah usai tepatnya tanggal 17 April 2019 yang lalu. Negeri ini telah melaksanakan Pemilu baik Pilpres maupun Pileg. Seluruh rakyat Indonesia berbondong-bondong menyalurkan aspirasinya untuk lima tahun mendatang.

Sayangnya, berbagai kecurangan dan pelanggaran telah ditemukan dalam Pemilu tahun ini. Bahkan lebih parah dibanding tahun 2014 lalu. Kecurangan dan pelanggaran ini banyak dilakukan pada masa-masa tenang maupun pada hari H pencoblosan.

Dan ini sudah menjadi rahasia umum pada saat pelaksanaan Pemilu diwarnai dengan kecurangan dan pelanggaran. Fakta memperlihatkan tidak sedikit yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya.

Dalam penelitian yang dilakukan peneliti psikologi politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, menyebutkan, bahwa keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal: diketahui, dikenal, dan disukai.

Cara tercepat agar seorang calon mendapatkan ketiga syarat itu adalah dengan tatap muka dalam bentuk apa pun, disengaja ataupun tidak disengaja, dan memberikan bantuan.

Dengan dua cara ini, konsep diketahui, dikenal, dan disukai, akan semakin melekat pada calon. Tapi ada cara instan untuk mendapatkan suara tanpa harus bersusah payah mengejar tiga syarat di atas.

Dalam kesempatan wawancara dengan program AIMAN, Profesor Hamdi Muluk mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus kontestasi dan menjadi pemenang.

Ini masuk akal karena di antara sekian banyak jumlah caleg yang dipampang tentu hanya sedikit yang diingat. Paling banter diingat kalau tidak saudara ya tetangga.

Namun, banyak orang yang tidak mengenal siapa caleg di wilayahnya. Persoalan ini dipecahkan dengan memberikan “sesuatu” kepada para pemilih. Hanya 5 km dari pusat Ibu Kota. (Kompas.com)

Peneliti DPP Fisipol UGM, Wawan Mas’udi mengatakan, kesimpulan itu didapatkan dari analisis terhadap 7.647 percakapan terkait varian politik uang di sosial media. Analisis dilakukan 2-12 April 2019. “Secara geografis, Jawa Barat menjadi daerah dengan densitas percakapan tertinggi terkait politik uang dengan 433 percakapan yang terjadi di Bandung, Bogor dan Bekasi,” kata Wawan, Senin (15/4).

Setelah itu, ada DKI Jakarta dengan 358 percakapan, dan Jawa Timur sebanyak 222 percakapan. Tiga daerah itu merupakan daerah dengan jumlah percakapan mengenai politik uang tertinggi.

Sebab, percakapan di daerah-daerah lain masih berada di bawah 100 percakapan. Tapi, walau percakapan politik uang disebut menumpuk di Jawa, perbincangannya melebar ke timur Indonesia.

“Hal ini menunjukkan kalau masyarakat kita cukup perhatian dengan persoalan politik uang,” ujar Wawan.

Dari 7.647 percakapan, cuma 1.817 yang lokasinya terdeteksi dengan amplop menjadi kata kunci sentral di antara kata-kata lain. Percakapan politik uang capai puncak 11 April 2019 dengan 2.291 percakapan.

Inilah fakta yang terjadi dalam sistem demokrasi, dimana dalam sistem ini telah meniscayakan permainan politik uang untuk meraih kekuasaan. Berbagai cara digunakan untuk memperoleh suara terbanyak, sehingga tercapainya tujuan menduduki suatu jabatan atau kekuasaan tertentu yang diinginkan. Tidak peduli apakah hal itu halal atau haram.

Sejatinya sistem demokrasi ini berdiri atas dasar sekularisme. Dimana sekularisme menolak campur tangan agama mengurusi kehidupan. Sehingga sekularisme inilah biang masalah munculnya berbagai kecurangan, politik uang dan penghalalan berbagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Sangat berbeda dengan Islam

Islam adalah agama yang menjaga keberlangsungan eksistensi kehidupan manusia.  Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah saja dan hanya untuk satu masa/zaman namun risalahnya meliputi semua zaman dan mencakup segala aspek kehidupan, kapan pun dan di mana pun. Karena Islam adalah agama yang syamil (meliputi segala sesuatu) dan kamil (sempurna) maka tak ada satupun perkara yang luput dari pengaturan Islam. Sebagaimana Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kusempurnakan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu”(TQS. Al Maidah [5] : 3).

Serta Allah juga berfirman dalam Surah An-Nahl : 89 yang artinya, "Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu "

Islam yg merupakan agama yg syamil dan kamil juga mengatur soal risywah. Kata risywah berasal dari kata risyaaun yang bermakna hablun, yaitu tali, dan rasyaaun dikatakan sebagai alladzii yutawassalu bihi ilal-maai (sesuatu/ tali yang dapat mengantarkan/ ember pada air). Risywah juga dimaknai sebagai ju’lun artinya hadiah, ada juga yang memaknai sebagai al-wushlah ila haajah bil-mushaana’ah, cara sampai pada satu keperluan dengan berbagai rekayasa.

Ar-risywah adalah sesuatu berupa hadiah, komisi, pemberian, konsesi dan lain sebagainya yang diberikan oleh penyuap (ar-raasyii) yang mempertalikan antara dirinya dengan orang yang menerima suap (al-murtasyi) dengan bantuan perantara (ar-raaisy) untuk merekayasa sesuatu dalam rangka memperoleh sesuatu yang disepakati antar mereka yang terlibat. Politik uang termasuk pemberian dengan harapan atau kepentingan terhadap suatu jabatan. Maka politik uang termasuk bentuk risywah (suap) yang tidak diperbolehkan dalam Islam.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi risywah (yang menyuap) dan penerima/peminta risywah (yang disuap)”(HR. Abu Daud no. 3582, At-Tirmidzi no. 1386, Ahmad no. 6689 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma).

“Allah melaknat yang menyuap, yang disuap dan perantara yang menghubungkan keduanya” (HR. Ahmad 2/279, Al-Hakim no. 7068, Al-Bazzar no. 1353, Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir no. 1415. dari sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu).

“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kpd Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya” (TQS. Al-Ma'idah : 2).

Dalam Islam Kekuasaan atau jabatan adalah amanah. kepemimpinan dalam konteks negara, digunakan untuk mengurusi urusan umat berlandaskan syariat Allah SWT. Sehingga ketaqwaan dalam diri penguasa Sangatlah menentukan. Sebagimana firman Allah SWT.

“Apakah hukum jahiliah yang kamu kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (TQS al-Maidah [5]: 50).

Ditegaskan dengan sabda Rasulullah Saw. “Imam (pemimpin) itu pengurus yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia urus” (HR. al-Bukhari dan Ahmad).

Dengan demikian politik dalam Islam dibangun berdasarkan sikap taqwa. Sikap taqwa lahir dari keimanan. Maka politik uang akan dapat ditiadakan dan kecurangan untuk meraih kekuasaan dapat dihilangkan. Dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaffah dan syamiil. Hal itu hanya bisa terwujud apabila sistem pemerintahannya adalah pemerintahan Islam yaitu kepemimpinan Islam.*

Indah Setyo Wahyuni, S. Pd.

Muslimah Peduli Negeri


latestnews

View Full Version