View Full Version
Sabtu, 18 May 2019

Proyek OBOR: Waspadai Manuver Penjajahan Gaya Baru

OBOR adalah program yang diinisiasi oleh Presiden China Xi Jinping pada 2013 lalu. Bertujuan untuk membangun infrastruktur darat, laut dan udara secara besar- besaran untuk meningkatkan dan memperbaiki jalur perdagangan dan ekonomi antar Negara  Asia dan sekitarnya.

Program ini menyediakan dana yang besar bagi anggotanya. China dikabarkan mengelontorkan dana sebesar US$150 Miliar atau setara Rp. 2.137,6 triliun pertahun. Dan setiap Negara Anggota program ini, bisa meminjam dana tersebut untuk membangun infrastruktur Negara mereka. proyek ini menghubungkan 70 Negara Erofa, Asia dan Afrika. (CNBCIndonesia, 13 mei 2019).

 

OBOR Penjajahan Gaya Baru

Bagi Negara berkembang, program ini bagaikan angin segar. Kucuran dana yang begitu besar, bisa dipinjam demi membangun infrstruktur di Negara mereka. Namun program ini ibarat jebakan batman. Negara- negara peserta memliki pontensi untuk terlilit hutang. Mengingat no free lunch dalam sistem demokrasi. Siapa yang kuat dia akan memakan yang lemah.

Setelah OBOR berjalan selama lima tahun, ada delapan negara yang diprediksi memiliki risiko krisis finansial paling tinggi. Yakni, Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Delapan negara ini bersiap untuk masuk dalam zona jebakan Tiongkok lewat iming-iming proyek infrastruktur tadi. (www.law-justice.co, 06/4/2019).

Salah satunya adalah Pakistan. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 62 miliar atau Rp 903 triliun. Belum termasuk pinjaman lainnya. Pemerintah Tiongkok mengambil jatah 80 persen dari proyek yang sebagian besar digunakan untuk proyek pembangkit listrik. Begitu besarnya jumlah utang yang harus dibayarkan, hingga Pemerintah Pakistan membutuhkan waktu hampir 40 tahun untuk melunasinya (m.republika.co.id, 01/4/2019).

Lalu bagaimana jika Pemerintah Pakistan tidak mampu untuk melunasi atau gagal bayar? Maka skema tukar aset harus dilaksanakan sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka. Atau bahkan yang lebih parah, dinyatakan bangkrut dan harus mengganti mata uangnya dengan Yuan China sebagaimana yang terjadi di Zimbabwe.

Sri Lanka harus menelan pil pahit akibat investasi China. Pada 2013, Sri Lanka membangun Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Hambantota, 250 km selatan Colombo. Pembangunan bandara tersebut didanai pinjaman dari Cina melalui Bank EXIM sebesar USD$ 190 juta dengan bunga sebesar 6,3%. Jumlah tersebut mencakup 90% dari total biaya pembangunan bandara secara keseluruhan. Bandara ini kemudian dibangun dengan pelabuhan seharga USD$ 1.4 milyar, kawasan industri dan proses ekspor, pusat eksibisi, stadion kriket dan area hotel dan liburan yang terkoneksi satu sama lain dengan jalan tol terbaik di Sri Lanka.

Impian meraih Keuntungan dari proyek pembangunan jauh panggang dari api, utang membengkak tidak mampu lagi dibayar. Maka, sebagai konsekuensi atas ketidakmampuannya tersebut, Pemerintah Sri Lanka harus membuat perjanjian dengan Pemerintah China berupa ekuitas (menyerahkan lahan untuk disewa) pelabuhan selama 99 tahun kepada China. Bandara udara akhirnya dijual kepada India untuk membayar pinjaman kepada China, namun menilik mekanisme ekuitas yang dipilih Pemerintah Sri Lanka, bukan tidak mungkin di masa depan kedua infrastruktur ini akan jatuh ke tangan Pemerintah China secara penuh.(https://medium.com/, 30/12/2017).

Apa yang terjadi di Sri Lanka nyatanya belum seberapa jika dibandingkan apa yang melanda Zimbabwe beberapa waktu sebelumnya. Zimbabwe terkena status gagal bayar atas hutang China sebesar US$40 juta. Lalu sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Selain Sri Lanka dan Zimbabwe, ada beberapa negara lain yang menemui permasalahan yang serupa dengan China. 

Belajar dari fakta diatas jelaslah bahwa program OBOR ini berbahaya bagi Indonesia. Program ini bisa menjadi alat ekspansi gaya baru bagi China untuk menguasai negeri ini. Menurut Wakil Ketua DPRD Fadli Zon, Indonesia pernah memliki pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang pada akhirnya membuka jalan masuknya pekerja kasar China ke Indonesia, dilansir CNBCIndonesia ( 13/05).

Metode baku negara kapitalisme, baik Barat dan Timur, yaitu penjajahan. Penjajahan dalam bentuk politik dan ekonomi. Negara yang dijajah akan dikeruk kekayaan alamnya, dijauhkan dari agamanya (Islam), dan eksploitasi besar-besaran. Penjajahan ini untuk melemahkan semangat kaum muslim bangkit kembali kepada Islam. 

Neo-imprealisme inilah yang sering tidak dipahami umat. Hal ini disebabkan uslub penjajahannya bisa bersifat halus tak kasat mata, misalnya bantuan, skema utang, kerja sama, dll. Ada pula yang kasat mata untuk mendudukan suatu wilayah dengan hegemoni militer.

Proyek OBOR jelas berbahaya bagi umat. Karena Islam menolak penjajahan atas diri dan agama mereka, pun masalah ekonomi dalam hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. An-Nisa : 141, yang artinya, 

“... Dan sekali-kali Allah tidak menjadikan bagi orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang-orang Mukmin.”

Selain itu ada pula hadis nabi yang artinya, “Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (HR. Ibnu Majah)

Oleh karena itu, umat muslim harus memiliki kesadaran politik dan mewaspadai manuver musuh-musuh Islam. Ketiadaan kepemimpinan Islam menjadikan mereka kian berani dan rakus untuk menjajah Negeri-Negeri kaum muslim yang berpecah belah.

Keadaan ini sejatinya tidak akan lama, jika umat Islam mau bergotong royong dan berusaha keras mewujudkan kepemimpinan Islam yang kuat, yang mampu menyatukan Negeri- negeri muslim dalam satu kepemimpinan, menjadi super power baru yang mampu menghadang segala bentuk penjajahan. Wallu A’lam bishawab.*

Lina Revolt

Komunitas Emak- emak Peduli Bangsa


latestnews

View Full Version