View Full Version
Senin, 20 May 2019

Solusi Stabilitas Harga Pangan Ada di Tangan Penguasa

HARGA bahan makanan pokok terus meningkat mendekati awal bulan Ramadhan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan hal itu dipicu oleh kenaikan permintaan dari konsumen. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti menjelaskan kenaikan permintaan ini dimanfaatkan oleh beberapa pedagang untuk mengerek harga bahan pokok.

Di sisi lain, kenaikan harga bahan pokok juga disebabkan oleh kelangkaan pasokan bahan pokok di pasar sehingga tidak mampu memenuhi permintaan konsumen. Contoh kelangkaan terjadi pada bawang putih. Harga bawang putih beberapa hari terakhir kian menjulang. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) Selasa (7/5) mencatat, rata-rata harga bawang putih nasional mencapai Rp 63.900 per kilogram (kg).

Harga bawang putih di DKI Jakarta, sudah tercatat Rp 87.500 per kg. Harga bawang putih di beberapa daerah bahkan ada yang sudah menyentuh Rp100 ribu. Kondisi ini terbilang miris lantaran harga bawang putih meroket drastis dalam sebulan terakhir. Pada 15 April 2019, rata-rata harga bawang putih nasional ada di angka Rp41.800 per kg. Bahkan, di awal April lalu, rata-rata harga bawang putih nasional sempat berada di kisaran Rp34.950 per kg. Walhasil, bawang putih kini menjadi momok inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bawang putih memberikan andil inflasi sebesar 0,09 persen pada inflasi bulanan April lalu sebesar 0,44 persen. Sebulan sebelumnya, bawang putih juga memberi andil inflasi 0,04 persen terhadap inflasi bulanan sebesar 0,11 persen.

Sebenarnya Kemendag juga telah mengantisipasinya dengan melakukan rapat koordinasi (rakor) baik di tingkat pusat maupun daerah yang sudah dimulai sejak Maret 2019. Hasil rapat itu selanjutnya ditindaklanjuti dengan penerjunan tim ke lapangan untuk memantau harga dan pasokan bahan pokok di pasar. Kemendag juga bekerja sama dengan satuan tugas (satgas) pangan untuk mengawasi jika ditemukan oknum pedagang yang sengaja mengerek harga untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Hasil rapat koordinasi terbatas (rakortas) tingkat Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada 18 Maret 2019 memutuskan bahwa demi merespons tingginya harga bawang putih yang tak masuk akal, pemerintah akan mengimpor bawang putih sebanyak 100 ribu ton seharusnya masuk pada bulan lalu. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution berharap kebijakan ini bisa membawa harga bawang putih ke angka Rp25 ribu per kg. Namun, kebijakan impor yang seolah-olah menjadi solusi, ternyata malah menjadi pangkal masalah tingginya harga bawang putih.

Sungguh ironis, Indonesia yang notabene merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi selalu mengalami krisis harga bahan pokok setiap tahunnya. Bukan hanya itu, mayoritas bahan pokok sekarang juga diperoleh dari hasil impor. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini?

Jika kita telusuri, akar permasalahan ini terletak pada sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan Indonesia saat ini masih menggunakan sistem demokrasi kapitalis. Sistem demokrasi kapitalis menganggap kenaikan harga kebutuhan pangan disebabkan kurangnya ketersediaan bahan pangan komoditas tertentu. Kondisi seperti ini dianggap sebagai permasalahan ekonomi karena harga ditentukan berdasarkan supplay (penawaran) dan demand (permintaan) terhadap barang tersebut.

Karena itu, jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sedangkan permintaannya sedikit, maka harga akan turun. Jika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar, maka harga akan naik. Solusi yang ditawarkan setiap tahunnya pun sama, impor, Padahal solusi permasalahan ekonomi seperti hanya akan menimbulkan sistem perdagangan yang tidak sehat.

Selain itu juga selalu terjadi monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba. Rakyat kecil yang bekerja sebagai petani hanya merasakan pahitnya dari sistem ekonomi kapitalis. Para petani dan pedagang selalu disalahkan karena kenaikan harga bahan pokok. Para konsumen pun juga dirugikan karena adanya kenaikan harga bahan pokok.

Hal ini membuktikan bahwa rakyat selalu dizhalimi oleh para penguasa. Maka dapat dilihat bahwa pemerintah demokrasi bukanlah peri'ayah sejati bagi rakyat. Artinya pemerintah bukan lagi pihak yang mengurusi setiap urusan rakyatnya tetapi justru berpihak kepada kepentingan para pemodal. Alhasil pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Oleh karena itu, satu-satunya solusi untuk menyelesaikan permasalahan kenaikan harga bahan pokok yang terus menerus terjadi setiap tahunnya adalah dengan menerapkannya sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) sehingga sistem perekonomian pun dapat berjalan dengan lancar. Negara dengan sistem Islam akan me-ri’ayah rakyat dengan akidah Islam. Akidah Islam yang tertanam dalam diri rakyat akan menuntun mereka dalam memahami tujuan hidupnya dengan baik.

Jika negara menerapkan sistem Islam, maka setiap sumber daya alam akan dikelola dengan baik oleh negara. Kemudian, hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas atau pelayanan yang menjadi kebutuhan pokok rakyat sehingga tidak ada lagi keresahan akan kenaikan bahan pokok yang terjadi setiap tahunnya. Tidak akan ada lagi monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba yang memang diharamkan dalam Islam, sehingga hasil pertanian akan terjaga.

Sistem Islam juga menjamin ketersediaan bahan pokok tanpa merugikan pedagang dan tidak akan menzhalimi rakyat. Produktivitas pun akan tetap tinggi, pada saat yang sama, harga juga tetap terjangkau, sehingga negara bisa swasembada pangan. Maka, akan terjadi sistem perdagangan yang sehat.

Pertanian juga akan berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, di mana tanah-tanah pertanian yang ada harus dikelola dengan baik dan maksimal untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Ini yang dikenal dengan kebijakan intensifikasi. Jika kurang, negara bisa mendorong masyarakat menghidupkan tanah-tanah mati, sebagai hak milik mereka, atau dengan memberikan insentif berupa modal, dan sebagainya. Ini yang dikenal dengan kebijakan ekstensifikasi. Dengan dua kebijakan ini, negara akan mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berupaya untuk kembali menerapkan Islam secara kaffah agar mampu menjadi solusi bagi setiap permasalahan ummat.*

Nabilah Shofa Fauziyah

Mahasiswa Gizi FKM UI

 


latestnews

View Full Version