View Full Version
Kamis, 30 May 2019

Merindu Kepemimpinan Sang Singa Padang Pasir

HARI itu, hari dimana Rasulullah SAW wafat, sang Singa Padang Pasir yang masih dilanda kesedihan yang mendalam atas meninggalnya kekasih Allah begitu terkejut dengan adanya orang yang hendak memilihnya untuk menjadi sang Khalifah pengganti Rasul Muhammad. Dialah Umar bin Khattab. Sosok tinggi besar yang terkenal dengan ketegasannya itu langsung menolak perkataan orang yang hendak memilihnya. Dengan tegas ia berkata bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq lah satu-satunya orang yang pantas menggantikan Rasulullah sebagai panglima di atas panglima bagi kaum muslimin.

Hari berganti hari, saatnya malaikat Izrail berkunjung ke kediaman Abu Bakar Ash Shiddiq. Diambilnya dengan lembut ruh (nyawa) shahabat terdekat Nabi  SAW tersebut. Sebelum beliau wafat, beliau telah memusyawarahkan dengan shahabat-shahabat Nabi SAW yang lain tentang sosok yang cocok untuk menggantikannya. Tersebutlah kembali nama Umar. Umar yang baru mendengar kabar itu setelah musyawarah dilakukan menjadi gusar dan ketakutan. Ia datangi Abu Bakar yang sedang kritis untuk melakukan protes. Namun Abu Bakar dengan tegas menyatakan bahwa dia lah Sang Terpilih, khalifah kedua pengganti Rasulullah Muhammad dalam memimpin umat. Sejak hari itu, semakin banyak air mata yang menetes di pipinya karena kekhawatirannya tidak bisa amanah dalam menjalani kepemimpinan.

Ya begitulah sosok pemimpin umat zaman dulu. Pemimpin umat zaman khulafaur rasyidin, sebuah masa dimana Rasul telah tiada namun ajarannya masih sangat dipatuhi oleh umatnya. Pemimpin atau khalifah di zaman itu tidak berharap kekuasaan mendarat di pundaknya. Mereka tahu bahwa memimpin umat bukanlah perkara yang mudah. Memimpin umat juga bukan sekedar urusan dunia saja, namun itu juga urusan akhirat.

Oleh karena itu, tidak ada rebutan kekuasaan. Yang ada justru tangisan begitu rupa saat tahu bahwa dirinya lah yang ditunjuk memimpin umat. Umar bin Khattab tidak pernah melakukan kampanye. Pemilihannya bahkan tidak ia ketahui sebelumnya. Satu-satunya kampanye yang tidak sadar telah ia lakukan adalah sedari masuk Islam dia begitu taat pada Allah dan Rasulnya. Ketegasannya begitu nampak dalam menjalankan syariat-Nya. Masyarakat pun terkesan karenanya.

Rindu rasanya memiliki sosok pemimpin sebagaimana Umar bin Khattab. Pemimpin yang tidak haus kekuasaan sehingga tidak ada praktek “menghalalkan segala cara” demi mendapatkan kekuasaan. Seorang pemimpin yang blusukannya menghasilkan suatu manfaat bagi rakyatnya, tidak hanya sekedar untuk difoto dan disebar melalui sosial media maupun media-media mainstream lainnya.

Jika blusukan Umar sekedar mencari muka di hadapan rakyatnya, ia tidak akan melakukannya di malam hari dengan diam-diam saat umatnya banyak yang telah tertidur lelap. Jika blusukan Umar sekedarmencari muka di hadapan rakyatnya, ia tidak akan memanggul sendiri sak gandum untuk diberikan pada rakyatnya yang kelaparan. Cukuplah ia perintahkan ajudannya untuk mengirim gandum ke rumah rakyat yang membutuhkan, itu sudah cukup bagi rakyatnya, namun ia ternyata bersikeras membawa gandum itu sendiri. Yang ia lihat di depan matanya hanyalah surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai jika ia taat Allah, dan neraka dengan api yang menyala-nyala jika ia lalai dalam memimpin umat.

Melihat apa yang sekarang terjadi di Indonesia, sungguh memuncak kerinduan ini pada para pemimpin umat yang tidak haus kekuasaan. Era kekhilafahan dengan syariat Islam sebagai aturannya telah menempa, mengajarkan, dan memahamkan mereka arti “amanah” yang sesungguhnya. Jika kau tidak diberi amanah, maka janganlah kau mencarinya apalagi sampe menghalalkan segala cara sebagaimana yang terjadi di alam demokrasi saat ini. Tapi jika kau diberi amanah, janganlah kau tolak. Berazamlah untuk melaksanakan amanah itu sesuai dengan aturan-Nya, karena pemberi amanah yang sesungguhnya bukanlah manusia melainkan Allah SWT.*

Novia Darwati

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban


latestnews

View Full Version