View Full Version
Kamis, 30 May 2019

Impor Guru, Gejolak Baru Dunia Pendidikan

DUNIA pendidikan kembali mendapat sorotan setelah wacana mengundang guru atau pengajar dari luar negeri disampaikan  oleh  Puan Maharani selaku Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia. Dalam acara diskusi Musrenbangnas yang berlangsung di Jakarta 9/5 itu, menteri Puan meminta agar pihak yang berkepentingan seperti sekolah untuk menyampaikan pengajar seperti apa yang dibutuhkan berikut jumlahnya. Adapun terkait kendala bahasa, maka hal tersebut akan diantisipasi dengan kesediaan banyak penerjemah serta kelengkapan alih bahasa. (Harian Jogja 9/5)

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya pendidikan di negeri ini masih memiliki persoalan yang belum menemui titik solusi. Kondisi ini sangat gambang terlihat dari minimnya fasilitas pendidikan, ketidakjelasan arah kurikulum, kurangnya jumlah pendidik berkompetensi, rusaknya perilaku keluaran (output) pendidikan dan beragam problem lainnya.

Dan kini, disaat guru honorer banyak yang meminta kepastian nasibnya atas  status  PNS, publik justru dibuat geger dengan wacana impor guru asing. Tak heran jika kebijakan ini pada akhirnya justru menuai kritik dari berbagai kalangan.

Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim adalah salah satunya. Ia menilai wacana pemerintah terkait impor guru adalah keliru. Karena berdasarkan data secara nasional, Indonesia bahkan oversupply guru dari sekitar 3,2 juta di berbagai tingkatan yang mengajar saat ini.

Menurut Satriwan, jika wacana tersebut digulirkan lantaran nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) masih terbilang rendah—dengan angka 67,00 dari skala 100 pada 2017— mestinya harus ada peningkatan kompetensi guru. Bukan serta merta impor seolah sudah putus asa dalam memberdayakan guru dalam negeri.

Paparan fakta yang disampaikan sebagai bentuk kritik atas kebijakan ini menjadi bukti bahwa demokrasi telah gagal mencetak guru yang berkualitas. Tak heran jika kemudian output generasi masa kini jauh sekali dari kata memuaskan, baik secara intelektual maupun moral.

Jika Presiden Joko Widodo yang juga hadir dalam acara  diskusi Musrenbangnas tersebut serius menyambut 100 tahun Indonesia Merdeka agar tidak masuk dalam "middle income trap", harusnya arah pergerakan pembangunan tidak  hanya difokuskan pada infrastruktur semata, tapi juga peningkatan kualitas SDM.

Pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, tidak terbatas hanya sebagai penopang perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu teknologi, ilmu sejarah, ilmu sosial dan ilmu ekonomi. Tetapi, syarat pembangunan rohaniah yang sehat dan kuat dengan mengembangkan pendidikan kearah perbaikan peradaban.

Sebab inilah yang menjadikan Islam melalui tangan negara bertanggungjawab penuh dalam mengatur segala aspek berkenaan dengan sistem pendidikan, bukan hanya persoalan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.

Disamping itu, negara juga menjamin terwujudnya guru berkualitas mengingat keberadaannya bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran (tranfer of knowledge), tetapi sebagai juga pembimbing dalam memberikan keteladan (uswah) yang baik (transfer of values). Oleh karenanya guru harus memiliki kekuatan akhlak yang baik agar menjadi panutan sekaligus profesional.

Dalam hal ini, maka upaya yang bisa dilakukan oleh negara adalah melalukan pengayakan guru dari sisi metodologi, penyediaan sarana prasarana yang memadai serta menjamin kesejahteraan mereka sebagai tenaga profesional. Dan kesemuanya itu, harus terlaksana tanpa bergantung pada asing. Sehingga kemandirian dalam mengatur arah pendidikan sebagaimana tuntunan Islam dapat terwujud dengan sempurna.*

Maya A

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban Gresik, Jawa Timur


latestnews

View Full Version