Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Di tengah-tengah kita merasakan ketentraman dan kenikmatan menjelang hari-hari kemenangan yakni kembalinya kita kepada fitrah dengan ber-Idul Fitri, lalu jika kita bandingkan dengan saudara-saudara seiman kita yang jumlahnya puluhan juta masih hidup di bawah garis kemiskinan, tentu layaklah kita bersyukur kepada Allah SWT karena kita masih bisa menikmati suasana jelang Idul Fitri dengan penuh kekhusyuan.
Di tengah-tengah ketakwaan yang sedang kita coba upayakan dan dapatkan pula, ternyata masih banyak pula rasa khawatir yang hadir dalam diri kita dengan berbagai macam pertanyaan. Salah satu di antara pertanyaan yang kiranya layak kita miliki sebagai seorang mukmin adalah, sudah cukupkah bekal persiapan kita untuk “mudik” atau kembali ke kampung Akhirat nanti?
Karena perlu kita ketahui bersama bahwa sebenarnya negeri Akhiratlah merupakan tujuan hidup kita. Allah SWT telah mengingatkan kita melalui firman-Nya: “Wab taghi fii maa aataakallaahud daaral aakhirah”(Carilah olehmu kebahagiaan Akhirat). Walaupun kemudian Allah SWT menyatakan, “wa laa tansa nashiibaka minad dun-yaa”(dan jangan lupakan nasib kamu selama hidup di dunia) (Al Qashash, 28 : 77).
Betapa harus banyak bisa kita syukuri bahwa Allah SWT telah mengingatkan kita tentang tujuan akhir kebahagiaan hidup kita yakni di Akhirat. Namun demikian, Allah SWT mempersilakan kita untuk menikmati kehidupan dunia sepanjang kenikmatan tersebut bisa mengantarkan kita untuk bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki di Akhirat nanti dengan memperoleh ridha-Nya.
Demikian pula, bila ternyata di tengah-tengah proses perjalanan hidup kita untuk mencapai kebahagiaan Akhirat lantas kita menemukan kebahagaiaan dunia, inilah yang harus kita syukuri. Namun, bila dalam situasi dan kondisi tertentu kita di hadapkan pada “dua” pilihan antara mengorbankan kebahagiaan dunia dengan Akhirat, maka tentu kita akan rela mengorbankan kebahagiaan dunia demi tercapainya kebahagiaan Akhirat yang kekal dalam naungan ridha-Nya.
Bila kita mau cermati, berapa lamakah manusia hidup di dunia ini? Sebandingkah durasi kehidupan dunia kita bila kita bandingkan dengan durasi hidup kita setelah kita meninggal dunia nanti? Di dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. pernah bersabda tentang perbandingan tersebut, Beliau menyatakan, “Perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Betapa singkatnya kehidupan kita di alam dunia ini bila kita mau membandingkan dengan kehidupan kita di alam Akhirat. Lama hidup kita di dunia hanya seperti setetes air di tengah-tengah luasnya air laut yang membentang.
Seiring dengan perjalanan waktu pula, seperti biasanya tidak sedikit di antara saudara-saudara kita setiap jelang akhir Ramadhan dan sesudahnya telah banyak disibukkan dengan persiapan mudik lebaran bagi perantau yang akan pulang ke kampung halamannya. Segalanya jauh-jauh sudah dipersiapkan. Pemerintah melalui departemen terkait sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi “arus mudik & arus balik lebaran”.
Para pemudik mempersiapkan diri dari mulai menyiapkan peta perjalanan, mempersiapkan kendaraan bagi yang memiliki kendaraan untuk pulang kampung. Atau calon pemudik telah siap jauh-jauh memesan tiket Kereta Api (KA) walaupun bulan Ramadhan belum tiba, dengan harapan KA tersebut dapat membawanya pulang kampung.
Pesan tiket Bus jauh-jauh hari sebelum pemberangkatan. Pemudik yang menggunakan Sepeda Motor pun telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan kendaraan yang akan digunakannya yang dari tahun ke tahun pemudik yang menggunakan sepeda motor jumlahnya meningkat.
Mereka rela harus terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang panjang antriannya berkilo-kilo meter dan memakan waktu tidak sebentar. Semua itu bagi para pemudik membawa kesan tersendiri walaupun bersifat sementara, tentunya.
Pertanyaannya, sudahkah jauh-jauh hari kita lakukan segala persiapan kepulangan kita ke kampung Akhirat sebagaimana persiapan para pemudik pulang kampung mudik lebaran? Padahal, kepulangan kita ke kampung Akhirat tentu lebih membutuhkan persiapan dan bekal iman dan amal shaleh yang lebih dari cukup karena kita tidak akan pernah kembali ke alam dunia lagi, tidak seperti halnya pulang ke kampung halaman yang sifatnya sementara.
Mudik kita ke kampung halaman pada hari “H”-nya bisa direncanakan dan sewaktu-waktu bisa dibatalkan, sedangkan mudiknya kita ke kampung Akhirat yang diawali dengan kematian tidak bisa direncanakan hari “H”-nya tapi merupakan sebuah kepastian yang pasti terjadi, yang mungkin kematian itu bisa saja terjadi sesaat lagi, esok, lusa, beberapa bulan atau beberapa tahun lagi. Wallahu a’lam.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa ingat akan tujuan akhir hidup kita, sehingga kita tidak akan lalai terhadap apa yang sudah menjadi cita-cita hidup kita yakni meraih kebahagiaan hidup di Akhirat.
Semoga pula, seluruh rangkaian ibadah yang kita tunaikan selama bulan Ramadhan dan amal-amal shaleh lainnya dapat menjadi sarana atau wasilah untuk kita bisa memperoleh rahmat dan ampunan-Nya. Amin! Taqabbalallaahu Minna Waminkum. Wallahu a’lam bish-shawab. [syahid/voa-islam.com]