View Full Version
Selasa, 11 Jun 2019

Hiperbola Membanggakan Infrastruktur

KETIKA tarif TOL mencapai 660 ribu per kendaraan, publik menjadi rame dari dua kubu yang merasa terzolimi dan merasa bangga atas adanya infrastruktur ini. Dunia maya menjadi tempat yang paling panas akan polemik ini. pada sisi para pendukung adanya jalan tol yang dibangun rezim, menganggap hal ini adalah sebuah prestasi yang belum pernah ada sebelumnya dan perlu diapresiasi. Pada kubu yang berlawanan merasa sebaliknya, yakni terzolimi dengan tarif tol yang bagi mereka sudah mencapai tarif sekali take off Lion air atau Citilink.

Pernah seorang teman protes saat melihat story temannya yang menganalogikan harga tol yang sebanding dengan harga tarif pesawat. “setiap pemerintahan kan ada positif negatifnya dan buat sekarang itu emang ngak ada pemerintahan yang terbaik, tapi setidaknya pemerintahan wiwi ini kan infrastruktur semakin meningkat sedikit banyak kita juga merasakan”, tukasnya ingin meluruskan postingan yang baginya menggiring opini. Pertikaian antar dua kubu ini terus terjadi, sampai muncul pertanyaan, lalu sepeti apakah seharusnya infrastuktur ini diposisikan?

Dalam melihat hal ini, kita perlu mendudukkan masalah infrastruktur ini. Menurut seorang ahli ekonom, M. rizal Taufikurohman, “Infrastruktur adalah public good yang tentu saja semua orang harus akses terhadap barang itu”. Lebih jauh lagi beliau menjelaskan bahwa infrastruktur ini adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang memberikan nilai efisiensi terhadap transaksi ekonomi seperti memudahkan pengankutan terhadap barang yang melewati jalan tol ini (khilafah chanel).

Berbicara mengenai infrastruktur memang benar jika pembangunan pada pemerintahan ini menjadi sebuah prestasi yang nampak diindra siapapun. Namun terlepas dari sisi positifnya itu, hal yang perlu dikritisi dari pembangunan jalan Tol ini dikembalikan pada tujuan pembangunannya, apakah memberikan benefit bagi rakyat dari seluruh kalangan ataukah tidak. Sebagaimana dikemukakan oleh M. taufik bahwa pembangunan infrastruktur harus merealisasikan tiga hal, yakni membangun indeks ketimpangan infrastruktur, mempercepat transaksi melalui efisiensi biaya transportasi, dan konektivity.

Namun realitas berbicara lain, tiga pencapaian di atas tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika ditelisik pada arus kepadatan transportasi tol trans jawa kini mengalami penurunan. Hal ini dibuktikan dengan kembalinya truk-truk pengankut barang melewati jalur pantura dengan peningkatan arus kendaraan mencapai 70% sejak akhir januari lalu. Menurut AKP Firdaus Yudhatama “ Jalur di Pantura, sejak kemarin sudah mulai ramai masuk Pantura,” tutur Kasatlantas Polres Kota Pekalongan itu (detikFinance, Minggu/3/02/19). Berbaliknya truk dan bus ke jalur pantura dipicu oleh melonjaknya tariff tol yang mencapai jutaan rupiah. Ketua Asosiasiasi Logistik Indonesia  Zaldy Ilham Masita pun meminta PT Jasa Marga untuk menurunkan tariff tol Trans Jawa yang bisa mencapai 2 juta rupiah untuk truk berukutan besar (detikFinance/3/02/19).

Kini tol menjadi sepi dari lalu lalang kendaraan umum seperti truk-truk pengangkut logistik, dan juga bus-bus penumpang. Para penggemar setia tol yang masih sering lalu lalang adalah dari mereka yang mampu membayar tarif yakni kaum creazyrich dengan Toyota dan Avanza mereka. Hal ini tentu sangat memprihatinkan, pembangunan  infrastruk termasuk jalan Tol atau yang lainnya seperti jalur kereta cepat misalnya, telah mengeruk banyak pajak yang didapat dari uang rakyat sendiri. Bahkan pajak tersebut telah merambat masuk ke berbagai segi kehidupan rakyat seperti yang terbaru yakni pajak belanja online dan pajak NPWP mahasiswa.  Namun kini rakyatpun harus membayar mahal untuk menikmati fasilitas tersebut. Disisi lain, pembangunan infrastruktur ini bahkan menarik banyak hutang bagi negeri ini. Dan lebih unik lagi, selain subsidi dikurangi, kini BUMN pun akan ditarik untuk menutupi dana pembangunan infrastrutur.

Seharusnya, jika pemabangunan ini banyak mengorbankan uang rakyat, haruslah dapat dipergunakan oleh rakyat dengan mudah dan murah. Namun, hal ini tentu nihil terjadi di dalam sistem kapitalis liberal saat ini, yang menjadikan infrastruktur tidak lagi menjadi kewajiban pemeritah, melainkan menjadi ajang bisnis yang tentunya hitung-hitunganya adalah itung-itungan bisnis juga. Sebagaimana yang diungkapkan PT Jasamarga sebagai penanggung jawab pembangunan jalan Tol ini, bahwasanya para pengendara transportasi seharusnya mendapat keuntungan dari tol ini karena jarak dan waktu tempuh yang lebih singkat dibandingkan melewati jalur pantura(Kompas/7/02/190).

Hal ini tentunya berbeda jika kita melihat bagaimana pengaturan infrastruktur yang diatur di dalam Islam. Di dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur sebagai aset milik umum, harus dikelola oleh negara dengan dana yang didapat dari APBN ataupun Baitul Mal saja, bukan dari pajak ataupun hutang. Tapi tetap saja negara tidak boleh mengambil keuntungan dengan adanya infrastruktur ini seperti dengan membangun pos-pos pendapatan dari adanya sarana-sarana ini.*

Ianatul Boeng
Pegiat Literasi Pena Langit

 

 


latestnews

View Full Version