Oleh: M Rizal Fadillah (Pengamat Politik)
Kini Pak Jokowi masih Presiden dan diperpanjang atau tidak tergantung putusan Mahkamah Konstitusi nanti. Berbeda dengan tahun 2014, saat ini masalah yang dihadapi Pemerintah Jokowi dalam kaitan dengan aspirasi kerakyatan lebih kompleks dan rawan.
Ada beberapa hal yang "menggantung" dan menjadi "masalah kerakyatan" yang menjadi titik lemah dan tantangan yang dihadapi.
Pertama, pemilu 2019 yang di bawah tanggungjawab pemerintahannya dinilai tidak mulus. Citra curang tidak terhapus dengan putusan MK karena para Hakim Majelis tidak mengadili masalah kecurangan. Fokus pada "angka angka" keberatan. Fondasi pemerintahan yang "cacat politik" adalah beban. Dengan legitimasi rendah pemerintahan mudah goyah.
Kedua, meninggalnya 700 an petugas Pemilu 2019 yang dibuat mengambang baik "sebab" maupun "pertanggungjawaban" akan menjadi masalah berkelanjutan. Tuntutan penyelidikan tuntas terus bergaung.
Ditambah dengan "permainan" dalam kerusuhan 21-22 Mei yang menewaskan sejumlah orang dan tindakan brutal Brimob yang menjadi masalah HAM nasional maupun internasional. Sementara orang hilang yang belum ditemukan juga menjadi "pekerjaan rumah" tersendiri. Komisi independen untuk penyelidikan menyeluruh tetap menjadi tuntutan rakyat.
Ketiga, kebijakan kerjasama erat dengan Republik Rakyat China baik dalam investasi yang sedang berjalan maupun program khusus Belt and Road Initiative yang akan dijalankan bakal menimbulkan masalah yang tak ringan.
Penolakan publik cukup tinggi karena kekhawatiran penguatan peran China pada aspek ekonomi, politik dan ideologi. Persoalan laten petanahan dan tenaga kerja China terus mengemuka. Sentimen rasial meningkat atas dasar kesenjangan sosial yang justru semakin melebar.
Keempat, kasus korupsi yang berhubungan dengan pejabat elit di lingkungan istana. Beberapa Menteri dalam proses penyelidikan KPK. Rembetannya tentu melebar dan meluas. Tekanan rakyat agar KPK menuntaskan kasus korupsi di lingkungan pemerintahan Jokowi akan berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan. Sikap politik Jokowi terhadap support penuntasan atau mungkin perlindungan personal menjadi ujian yang berdampak serius.
Kelima, institusi kepolisian dalam peran pengayoman dan perlindungan masyarakat mendapat sorotan tajam. Rakyat menilai Kepolisian di bawah Pemerintahan Jokowi lebih kuat kedudukan sebagai "alat negara" (baca alat pemerintah) ketimbang "alat masyarakat".
Netralitas politik rendah. Ada "distrust" pada publik. Ditambah dengan persoalan keseimbangan dan proporsionalitas peran dengan TNI. Konsep "democratic policing" Tito sangat berbahaya karena akan membawa Polisi berada di atas TNI. Ada kerawanan bila tidak dilakukan refungsionalisasi.
Keenam, umat Islam yang marah pada Jokowi. Sikap politik yang mengakar dalam sejarah yakni ekuilibrium antara kekuatan "kebangsaan" dan "Islam" yang mampu dimainkan oleh Presiden terdahulu, kini tidak lagi. Umat Islam merasa tersisihkan dan menjadi target pelemahan sebagai kekuatan politik.
Isu HTI, radikalisasi, intoleransi bahkan terorisme masih diarahkan pada umat dan hal ini tentu menyakitkan. Jokowi mungkin saja "polos" akan tetapi umat Islam melihat kepentingan dan mafia politik dibelakang Jokowi sangat kuat dalam memojokkan porsi (umat) Islam di Indonesia. Perlawanan tentu akan terus dilakukan.
Di tengah kelemahan yang dimiliki dan pengendalian "luar" yang liar dan dominan, maka pemerintahan jokowi kini hingga pelantikan siapapun Presiden baru nantinya akan ada dalam kerawanan. Kecuali Jokowi berhenti maka masalah bisa lebih mudah diatasi. Konsensus atau rekonsiliasi nasional akan terbangun.
Akan tetapi jika masih berlanjut, maka tanpa ada perubahan kebijakan mendasar di enam agenda di atas, nasib Jokowi akan sama dengan Presiden terdahulu yang dijatuhkan oleh desakan rakyat. Masalah bisa lebih berat karena akar kebijakan dapat dikategorikan penyimpangan ideologi. Pancasila yang diabaikan. [syahid/voa-islam.com]