View Full Version
Selasa, 18 Jun 2019

Nasib Pembangunan Infrastruktur

SEKTOR infrastruktur terus digenjot penggarapannya. Sektor ini diklaim ikon keberhasilan pemerintah sekarang ini. Beberapa bandara dibangun, begitupun ruang jalan tol bertambah sesuai dengan yang ditargetkan: 1.000 KM. Dana pembangunan bersumber dari hutang kepada China, atas nama proyek kerjasama. Semua dengan satu alasan yakni memajukan infrastruktur demi mendorong kemajuan perekonomian masyarakat.

Tak bisa dipungkiri, kemajuan infrastruktur berdampak positif pada perekonomian. Dengan infrastruktur yang memadai, membuat mobilitas manusia semakin lancar, efektif dan efisien, pada gilirannya akan mendorong roda perekonomian masyarakat bergerak lebih cepat. Namun yang tak kalah penting, pembangunan insfrastruktur juga harus melalui perencanaan yang matang.

Fakta yang terlihat, infrastruktur yang sudah rampung dibangun justru sepi pengguna. Sebagai contoh, Bandara Kertajati (BIJB) sepi pengguna hingga harus merugi besar. Biaya operasional 6 M perbulan hanya tertutupi pendapatan 600 juta/bulan. Itu artinya perbulan bandara tersebut harus menanggung kerugian kurang lebih 5,5 M.

Nasib serupa dialami Tol Trans Jawa. Setelah diresmikan bulan Desember 2018 silam, tol yang pembangunannya menelan biaya 67.94 T ternyata sepi pengguna. Pasalnya tarif yang diberlakukan dinilai terlalu mahal. Akhirnya masyarakat lebih memilih jalan nasional non tol. Jika sudah begini, bagaimana negara mampu mengembalikan hutang pokok berikut bunganya?

Menjadi tanda tanya serius adalah alasan dibalik pembangun infrastruktur yang terus ditargetkan, padahal pada faktanya terus mengalami kerugian. Adakah perencanaan yang matang terkait pembangunan infrastruktur? Apakah pembangunan lebih menitik beratkan faktor ekonomi atau politik?

Sejatinya, pembangunan infrastruktur merupakan fasilitas yang pengadaannya harus diupayakan oleh negara. Ia merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemimpin atas penyelenggaraan negara. Tujuan dari infrastruktur itu sendiri memang memudahkan masyarakat, karenanya infrastruktur haruslah bersifat pelayanan yang menjangkau seluruh kalangan.

Sayangnya, paradigma di atas telah bergeser. Kapitalisme membuat pengurusan penguasa bukan berdasar pengabdian pada amanah tapi lebih memperhitungkan untung-rugi. Tidak bertindak sebagai pengurus namun menjadi regulator kebijakan yang lebih berpihak pada asing.

Maka selama sistem kapitalisme masih menjadi nafas penguasa dalam penyelenggaraan negara, carut-marut pembangunan infrastruktur akan terus terjadi. Pembangunan tanpa perhitungan dan perencanaan yang cermat tak ubahnya bunuh diri ekonomi, bahkan menuju bunuh diri politik.*

Ummu Syaqieb

Pemerhati sosial masyarakat tinggal di Kuningan, Jawa Barat


latestnews

View Full Version