View Full Version
Rabu, 19 Jun 2019

Adat atau Syariat?

JARGON "Gerakan Nasional Kembali ke Busana Nusantara" belakangan ramai menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Disertakan gambar putra putri bangsa mengenakan pakaian adat tradisional masing-masing daerah, tertera pula tulisan "Busana asli Nusantara. No Arab look. This is Indonesia". Kontan saja postingan tersebut menuai pro kontra dari berbagai kalangan. Mereka yang kontra tentu tak terima jika atribut Islam kembali diusik. Dikatakan seolah jilbab dan khimar hanya cocok dikenakan di Arab, bukan Indonesia yang notabene memiliki baju khas/adat sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, belakangan ini permusuhan terhadap Islam semakin nyata saja ditampakkan sejak geliat umat semakin berkobar. Jika sebelumnya aktivitas dakwah beserta ulama ulama nya seringkali dipersekusi, saat ini ganti penutup aurat lah yang menjadikan bahan persoalan. Dibenturkan dengan budaya lokal alias budaya Nusantara. Ironisnya tak sedikit dari kalangan kaum muslim sendiri yang sepakat dengan konteks penggiringan opini tersebut.

Pertanyaan nya, mengapa pemikiran semacam ini bisa bercokol di akal pikiran seseorang yang notabene menyandang status Islam? Sebegitu tinggikah posisi adat hingga berani meremehkan syariat? Dan mengapa pula yang dipermasalahkan adalah pakaian wajib muslimah, sementara pakaian kebarat-baratan yang cenderung mengumbar aurat justru dibiarkan?

Sekulerisme. Ya, doktrin ini lah yang berhasil meracuni pemikiran umat Islam sehingga berani berargumen dan membenarkan klausul sesat yang menyesatkan. Doktrin yang membuat manusia perlahan meninggalkan aspek agama dalam menjalankan kehidupan. Mengabaikan aturan dari langit karena dianggap sudah tak relevan dengan perkembangan jaman dan budaya setempat.

Perlu diketahui bahwa virus sekulerisme merupakan salah satu agenda Barat yang sengaja disusupkan untuk melemahkan sekaligus menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan ibadah dalam Islam. Seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah, serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata.

Membahas jilbab, sejatinya ia adalah pakaian yang wajib dikenakan muslimah ketika ia berada di wilayatul amm (wilayah umum). Perintah ini tentu tidak dikhususkan untuk muslimah di Arab saja, namun juga muslimah lain di penjuru bumi sebagai bentuk konsekuensi atas keimanannya.

Bagi mereka yang mau berpikir jernih, sudah pasti ia akan menjumpai bahwa kewajiban ini merupakan wujud kesempurnaan Islam dalam menjaga kehormatan seorang muslimah. Adapun jika kemudian ada pihak yang membenturkannya dengan adat, maka syara' memberikan kelonggaran dalam hal model selama subtansi dari perintah yang termaktub dalam surat Al Ahzab 59 dan An Nur 32 terpenuhi.

Hanya saja, jika arahan dari jargon "Gerakan Nasional Kembali ke Busana Nusantara" adalah kebaya beserta kondenya yang bisa dipastikan menampakkan aurat, maka gagasan tersebut haruslah ditolak. Karena tidak ada yang lebih tinggi dari ketaatan terhadap hukum syara' bagi orang orang yang beriman.

Maka disinilah pentingnya peran dakwah. Jika Barat demikian getol mencekokkan ide ide sekulerisme beserta turunannya ke benak dan pikiran kaum Muslim, maka tidak ada jalan lagi selain melakukan hal serupa. Yakni melakukan perlawanan pemikiran melalui dakwah guna meluruskan kembali pemahaman yang terlanjur terkontaminasi.

Namun lebih dari itu, umat juga membutuhkan perisai yang lebih kokoh yang mampu melindungi sekaligus menangkal paradigma asing yang bertentangan dengan Islam. Dan perisai ini adalah Daulah Islam dengan seorang pemimpin bernama Khalifah yang siap menerapkan Islam dalam kepemimpinan nya.

Jargon "Gerakan Nasional Kembali ke Busana Nusantara" belakangan ramai menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Disertakan gambar putra putri bangsa mengenakan pakaian adat tradisional masing-masing daerah, tertera pula tulisan "Busana asli Nusantara. No Arab look. This is Indonesia". Kontan saja postingan tersebut menuai pro kontra dari berbagai kalangan. Mereka yang kontra tentu tak terima jika atribut Islam kembali diusik. Dikatakan seolah jilbab dan khimar hanya cocok dikenakan di Arab, bukan Indonesia yang notabene memiliki baju khas/adat sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, belakangan ini permusuhan terhadap Islam semakin nyata saja ditampakkan sejak geliat umat semakin berkobar. Jika sebelumnya aktivitas dakwah beserta ulama ulama nya seringkali dipersekusi, saat ini ganti penutup aurat lah yang menjadikan bahan persoalan. Dibenturkan dengan budaya lokal alias budaya Nusantara. Ironisnya tak sedikit dari kalangan kaum muslim sendiri yang sepakat dengan konteks penggiringan opini tersebut.

Pertanyaan nya, mengapa pemikiran semacam ini bisa bercokol di akal pikiran seseorang yang notabene menyandang status Islam? Sebegitu tinggikah posisi adat hingga berani meremehkan syariat? Dan mengapa pula yang dipermasalahkan adalah pakaian wajib muslimah, sementara pakaian kebarat-baratan yang cenderung mengumbar aurat justru dibiarkan?

Sekulerisme. Ya, doktrin ini lah yang berhasil meracuni pemikiran umat Islam sehingga berani berargumen dan membenarkan klausul sesat yang menyesatkan. Doktrin yang membuat manusia perlahan meninggalkan aspek agama dalam menjalankan kehidupan. Mengabaikan aturan dari langit karena dianggap sudah tak relevan dengan perkembangan jaman dan budaya setempat.

Perlu diketahui bahwa virus sekulerisme merupakan salah satu agenda Barat yang sengaja disusupkan untuk melemahkan sekaligus menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan ibadah dalam Islam. Seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah, serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata.

Membahas jilbab, sejatinya ia adalah pakaian yang wajib dikenakan muslimah ketika ia berada di wilayatul amm (wilayah umum). Perintah ini tentu tidak dikhususkan untuk muslimah di Arab saja, namun juga muslimah lain di penjuru bumi sebagai bentuk konsekuensi atas keimanannya.

Bagi mereka yang mau berpikir jernih, sudah pasti ia akan menjumpai bahwa kewajiban ini merupakan wujud kesempurnaan Islam dalam menjaga kehormatan seorang muslimah. Adapun jika kemudian ada pihak yang membenturkannya dengan adat, maka syara' memberikan kelonggaran dalam hal model selama subtansi dari perintah yang termaktub dalam surat Al Ahzab 59 dan An Nur 32 terpenuhi.

Hanya saja, jika arahan dari jargon "Gerakan Nasional Kembali ke Busana Nusantara" adalah kebaya beserta kondenya yang bisa dipastikan menampakkan aurat, maka gagasan tersebut haruslah ditolak. Karena tidak ada yang lebih tinggi dari ketaatan terhadap hukum syara' bagi orang orang yang beriman.

Maka disinilah pentingnya peran dakwah. Jika Barat demikian getol mencekokkan ide ide sekulerisme beserta turunannya ke benak dan pikiran kaum Muslim, maka tidak ada jalan lagi selain melakukan hal serupa. Yakni melakukan perlawanan pemikiran melalui dakwah guna meluruskan kembali pemahaman yang terlanjur terkontaminasi.

Namun lebih dari itu, umat juga membutuhkan perisai yang lebih kokoh yang mampu melindungi sekaligus menangkal paradigma asing yang bertentangan dengan Islam, yakni menerapkan Islam dalam kepemimpinan.*

Maya A (Gresik, Jawa Timur)


latestnews

View Full Version