TAHUN ajaran baru akan segera dimulai. Sebagaimana tahun lalu, penerapan sistem zonasi di tahun ini nyatanya masih saja menuai kontroversi.
Di Surabaya, Kamis 20 Juni lalu ratusan massa yang kecewa akan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menggelar aksi di depan Balai Kota. Mereka bahkan meminta Presiden Jokowi untuk memecat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy.
Tak hanya masyarakat, presiden pun mengakui bahwa dalam pelaksanaannya di lapangan sistem zonasi masih menemui banyak masalah yang perlu di evaluasi (detikNews 21/6)
Untuk diketahui, peraturan yang terbit awal Mei melalui Permendikbud Nomor 4 tahun 2018 ini menjadikan radius terdekat antara rumah dan sekolah sebagai bahan pertimbangan utama dalam penerimaan peserta didik baru. Dari pihak pemerintah sendiri, menciptakan pemerataan kualitas pendidikan adalah tujuan yang ingin dicapai dari lahirnya kebijakan ini. Sehingga, gap/kesenjangan antara sekolah unggulan dan non unggulan yang terlanjur mengakar dibenak masyarakat mampu diminimalisir. Sayang, niat baik pemerintah ini tetap saja menuai kritik. Salah satunya dianggap membatasi hak siswa bersekolah di tempat yang diidamkan.
Meski tak separah tahun lalu hingga terjadi penyegelan gedung sekolah dan sandera Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangerang (CNN Indonesia 10/7/18), tetap saja publik dibuat bertanya.
"Ada apa dengan sistem ini hingga kontroversi masih terjadi meski sudah dua tahun berjalan?"
Sebenarnya perombakan di dunia pendidikan bukan lagi hal baru. Sejak Indonesia merdeka hingga 2015, kurikulum sudah mengalami pergantian 11 kali. Tapi bukannya menghasilkan output yang berkualitas, perubahan yang begitu cepat ini justru membingungkan para pelaku pendidikan. Lihat saja generasi sekarang, tidak sedikit dari mereka yang sudah terjerat kasus hukum dengan berbagai delik. Padahal harusnya, korelasi pendidikan dan perilaku manusia bisa berjalan dengan perbandingan lurus.
Fakta kualitas pendidikan yang diterbitkan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pun tampak tidak memuaskan. Tahun 2016 saja Indonesia masih berada di urutan ke 57 dari 65 negara. Sedangkan di tahun berikutnya menurut UNESCO, scor Indonesia hanya mencapai 0,063 dengan persentase 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
Inilah kapitalisme. Selain menghancurkan perekonomian suatu bangsa, ia juga sangat berpotensi mengoyak terwujudnya pendidikan bermutu karena minimnya tanggungjawab pemerintah terhadap hak hak rakyat. Di daerah pedalaman, sulitnya akses ke sekolah serta minimnya sarana dan prasarana adalah kendala yang masih sering ditemui. Belum lagi problem finansial. Ketiadaan biaya seringkali memaksa anak tidak bisa mencicipi bangku sekolah.
Dari sini jelas, bahwa perbaikan memang harus segera dilakukan. Dan sistem zonasi PPDP yang dihadirkan hanyalah solusi tambal sulam yang tidak cukup ampuh untuk mengatasi kompleks nya permasalahan ini. Terlebih, turunan kapitalisme -sekulerisasi- makin marak diboomingkan melalui upaya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini tentu sangat berbahaya. Peserta didik akan gencar dicekoki dengan doktrin bahwa agama tidak layak dintegrasikan dengan segala urusan kehidupan.
Lebih dari itu, jika penghargaan kapitalisme terhadap pendidikan hanya dianggap sebagai jalan untuk memperoleh kesejahteraan berupa tumpukan materi, maka pandangan Islam tidak sepicik itu. Pendidikan adalah hal yang sangat esensial bagi setiap manusia. Dimana pemenuhannya wajib diberikan oleh negara. Namun, pemenuhan ini tidak asal terlaksana. Harus ada jaminan kualitas atas pendidikan yang mampu menciptakan individu yang tidak hanya cakap dalam intelektual, tapi juga mawas dalam perilaku.
Jika kesemua faktor pendukung tersebut telah terpenuhi (red : terstrukturnya kurikulum berbasis Islam, sarana pendidikan, kemudahan akses dan tenaga pendidik), maka bisa dipastikan para orangtua tak akan dibuat resah oleh sistem zonasi. Mereka tenang untuk melepaskan anaknya mengais ilmu di manapun lantaran yakin, negara telah menjamin pemerataan kualitas pendidikan dengan sangat baik.* Maya A, tinggal di Gresik, Jawa Timur