RIBA dalam Bahasa Arab berarti “bertambah”. Menurut istilah, riba berarti: menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (Riba dyan) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditi (emas, perak, gandum, syair, kurma, dan garam). Komoditi atau barang barang tersebut termasuk kedalam kebutuhan pokok pada zaman Jahiliyah.
Telah tertulis jelas dalam Al quran bahwasanya Allah SWT telah mengharamkan riba. Terdapat pada surat Al-Baqarah 275 :
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT. Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.“
Sesuai dengan ayat di atas. Allah SWT, telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba. Mengapa riba menjadi sesuatu yang haram. Karena, akad awal yang digunakan adalah akad meminjamkan (qardh), yang mana akad tersebut dilakukan karena ingin menolong sesame, tanpa menginginkan balasan dari pihak yang meminjam dan semata mata hanya menginginkan keridhoan Allah SWT.
Berbeda dengan akad jual beli yang mana niat awal yang di lakukan memang ingin mendapatkan laba atau keuntungan. yang memiliki kriteria untung muncul bersama risiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharraj bidh dhaman).
Para ulama telah membagi riba menjadi dua bagian diantaranya yaitu : riba dayn dan riba ba’i
Riba dyan adalah riba yang dilakukan oleh bangsa arab jahiliyah yaitu pemberian hutang menyaratkan kepada peminjam untuk mengembalikan hutang ditambahkan bunga, atau pun si pembeli sendiri yang mengajukan persyaratan untuk membayar denda dengan ucapan “ Beri saya tenggang waktu dan akan saya bayar lebih besar dari harga semula “.
Dalam system perekonomian, perbangkan dan keuangan modern, riba dyan banyak dijumpai, diantaranya :
Bunga Bank (interest) : imbalan (bunga) yang di bayar oleh peminjam atas dana yang diterimanya dari bank (bunga dinyatakan dalam persen). Dimana bank mendapatkan modal dari dana masyarakat dalam bentuk tabungan, kemudian imbalan atau bunga yang didapatkan bank akan dibagi kepada nasabah beberapa persen.
Bila hakikat menabung di bank adalah (qardh) maka pinjaman tidak boleh dikembalikan berlebih, bila dikembalikan berlebih dalam bentuk bunga maka bunga ini dinamakan riba (Al syarh al mumti, jilid X, hal 286)
Hukum menabung di bank kovensional : Hukum menabung di bank konvensional adalah haram. Karena nasabah yang menabung di bank akan mendapatkan bunga dari bank yang mana memberikan dan mendapatkan bunga adalah perbuatan yang haram.
Tetapi pada zaman sekarang, banyak yang menggunakan bank konvensional karena kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Contohnya adalah gaji pekerja yang biasanya di transfer menggunakan bank konvensional, maka dari itu terdapat fatwa yang membolehkannya dengan syarat uang gaji yang di terima harus segera di ambil.
Rentenir : Merupakan seseorang yang meberikan pinjaman, dengan syarat peminjam dapat mengembalikan pinjamannya beserta bunga yang telah disepakati. Dan juga jika peminjam telat membayar maka bunga akan bertambah.
Riba Ba’i yaitu : riba yang objektifnya adalah akad jual beli.
Riba ini terbagi menjadi 2 :
Riba Fadhl yaitu menukar salah satu dari 6 jenis riba (emas, perak, kurma, gandum, gandum jenis murah dan garam) dengan yang jenis sejenis dan ukuran berbeda.
Misalnya :
Menukar 1 kg Kurma Ajwa’ Madinah dengan 3 kg Kurma Sukkari
Riba nasi’ah yaitu menukar salah satu harta riba dengan harta riba lainya yang sejenis atau berlainan jenis akan tetapi illatnya sama (yaitu : emas, dan perak illatnya alat tukar. Kurma, gamdum, syair, dan garam illatnya makanan pokok dan tahan lama) dengan cara yang tidak tunai.
Misalnya:
Menukar 1g emas dengan 15g perak tidak tunai.
Terdapat dalil yang mengharamkan tentang Riba Ba’i,yaitu :
Hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Ubaidah bin Shamit radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, syair ditukar dengan syair, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukuranya juga boleh berbeda dengan syarat tunai “. (HR. Muslim).*
Sabrina Indah Larasati
Mahasiswi STEI SEBI