MY LITTLE Pony: Friendship Is Magic adalah sebuah serial animasi keluarga Amerika Serikat yang diproduksi oleh Hasbro Studios di Amerika Serikat dan di studio DHX Media yang terletak di Vancouver. Kesuksesan film animasi ini dapat ditengarai dengan larisnya pernak pernik khas anak-anak yang menggunakan gambar dari film animasi tersebut.
Karakter yang lucu dan kisah persahabatan yang diusungnya membuat film animasi ini jadi idola anak-anak seluruh dunia. Namun, para orang tua nampaknya harus berpikir ulang untuk membiarkan anak-anak menonton film tersebut. Dalam episode yang berjudul “The Last Crusade”, My Little Pony: Friendship is Magic memperkenalkan pasangan lesbian yang merawat karakter Scootaloo, Aunt Holiday dan Auntie Lofty.
My Little Pony, menurut penulis dan produsernya, Vogel, selalu bercerita tentang persahabatan dan menerima orang atau kuda poni yang berbeda dari yang lain. Ia berpendapat, memuat karakter lesbian pun terasa seperti sesuatu yang penting untuk dilakukan. Pihak Vogel mengajukan ide itu pada Hasbro Studios dan mereka menyetujuinya (republika.co.id, 14/6).
“Dengan (co-showrunner) Josh (Haber) dan Nicole menjalankan musim terakhir bersama, itu adalah sesuatu yang ingin kami semua lakukan. (Yakni) membawa pasangan ini ke musim terakhir dan menjadikan mereka ‘secara resmi’ sebagai bagian dari dunia My Little Pony,” kata Vogel, seperti yang dilansir dari People, Jumat (14/6).
Mengerikan. Dunia anak-anak yang polos kembali dirusak oleh racun liberalisme berkedok film animasi. Empat pilar kebebasan (berpendapat, berperilalu, berkeyakinan, dan berekonomi) yang diusung pegiat liberal meniscayakan kebebasan berperilaku yang tanpa batas. Tak ayal, pilihan seksual yang menyimpang pun mendapat tempat dalam alam kebebasan. Norma agama yang melarang penyimpangan seksual pun dibungkam dengan alasan hak asasi manusia.
Lebih mengerikan lagi ketika pewaris Soddom ini tak sungkan untuk memperluas komunitas. Mereka berupaya keras untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat. Bahkan secara masif melakukan promosi melalui berbagai media seperti film, musik, tulisan, ataupun gambar. Anak-anak pun menjadi sasaran empuk.
Dalam laporannya kepada UNDP dan USAID 2014 mereka juga mengklaim telah memiliki jaringan 119 organisasi pendukung LGBT di Indonesia. Jumlah pria homoseksual di negeri ini sendiri tidak ada yang tahu pasti. Menurut perkiraan para ahli dan badan PBB, dengan memperhitungkan jumlah lelaki dewasa, jumlah LSL di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juta orang, padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Diperkirakan pada 2013 jumlahnya lebih besar lagi. (Republika.co.id, 02/4/2013).
Pembentukan kepribadian seseorang sesungguhnya tak lepas dari lingkungan. Bahkan, manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan peniruan atau imitasi atas berbagai hal yang diinderanya. Maka sesungguhnya, ide-ide kebebasan melalui berbagai media seperti film dan semacamnya, dapat melekat pada pemikiran seseorang tanpa disadari. Terutama pada anak-anak yang pola pikirnya belum terbentuk sempurna.
Fakta menunjukkan, negara ini lumpuh dalam upaya perlindungan masyarakat dari budaya yang merusak. Terbukti dari menjamurnya jaringan pendukung LGBT. Makin meluasnya komunitas LGBT ini, karena tidak ada hukum yang tegas yang melarang tindakan rusak ini. Bahkan pada tahun 2012, Dede Oetomo, pendiri GAYa Nusantara sempat lolos uji calon Komisioner HAM meskipun tidak terpilih. Inilah bukti lumpuhnya peran negara dalam membendung budaya merusak yang membonceng ide kebebasan dan HAM. Jika kerusakan akibat LGBT dibiarkan, akan terjadi lost generation karena menyalahi fitrah penciptaan manusia dan hancurnya peradaban. Naudzubillah!
Islam sendiri telah tegas mengharamkan dan melaknat LGBT apalagi perkawinan sesama jenis. Nabi juga memerintahkan kaum Muslim agar mengeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka.
Dalam riwayat Abu Daud diceritakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah memerintahkan para sahabat mengasingkan seorang waria ke Baqi’. Dengan semua itu, Islam menghilangkan faktor lingkungan yang bisa menyebabkan homoseksual.
Islam memandang homoseksual sebagai tindak kejahatan besar. Negara Islam pun tidak akan membiarkan para pelaku maksiat memasarkan penyimpangannya. Lembaga penerangan negara secara ketat mengontrol berbagai tayangan dan media. Inilah sistem dan cara terbaik menghentikan kemaksiatan. Jikalau kita membiarkan kerusakan ini disekitar kita, takutlah akan azab Allah sebagaimana azab kepada kaum Soddom. Naudzubillah!
Mari, awali dengan mengkaji Islam agar kita mengetahui pengaturan Allah yang paripurna dalam kehidupan. Berikutnya harus ada upaya penyadaran kepada masyarakat dengan dakwah agar Islam dapat diterapkan secara secara kaffah dalam kehidupan. Akankah kita menunggu hingga Allah menimpakan azab, baru kita bertaubat?*
Oktavia Nurul Hikmah, S.E.
Komunitas Sinergi Muslimah, Gresik, Jawa Timur