View Full Version
Ahad, 30 Jun 2019

Menakar Kesiapan PPDB Zonasi

PELAKSANAAN pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi telah melahirkan banyak masalah. Sebagaimana diketahui, sistem zonasi memungkinkan calon siswa hanya dapat mendaftar pada sekolah yang berada di sekitar area tempat tinggalnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi favoritisasi pada sekolah-sekolah tertentu sehingga terwujud pemerataan pendidikan.  
 
Faktanya di lapangan terjadi banyak masalah dengan sistem zonasi tersebut. Di antaranya temuan-temuan titipan KK, pemalsuan alamat, server pendaftaran yang eror, dan masalah-masalah lainnya. Bahkan PPDB SMA di Jawa Timur sempat ditutup sementara. 
 
Menyusul kekisruhan tersebut, terjadi gelombang protes di berbagai wilayah dengan tuntutan menghentikan sistem zonasi dan menonaktifkan Mendikbud Muhadjir Effendi.
 
Keluhan masyarakat pun disampaikan langsung kepada Presiden Jokowi saat hadir di Gresik (20/6). Menanggapi tuntutan itu, Jokowi mengakui jika PPDB tahun ini banyak masalah.
 
Memang di lapangan banyak masalah yang perlu dievaluasi. Namun untuk lebih detail, tanyakan kepada Menteri Pendidikan, ujar Jokowi usai membagikan 3.200 sertifikat tanah di GOR Tri Dharma, Gresik (surya.co.id, 20/6).
 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merevisi aturan tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Revisi itu dilakukan setelah menuai protes di sejumlah daerah.
 
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Muchlis R Luddin mengatakan revisi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru itu mulai dalam tahap proses (cnnindonesia.com, 20/6).
 
Pemerataan pendidikan sejatinya adalah tujuan mulia yang harus didukung. Namun, kebijakan ini hanya akan menjadi kebijakan yang sia-sia manakala tidak didukung oleh kebijakan di bidang yang lain.
 
Kesenjangan kualitas pendidikan dapat ditemui di seluruh wilayah di Indonesia. Misalnya, kesenjangan kualitas pendidikan di desa dan kota, pusat dan pinggiran kota, serta Jawa dan luar Jawa. Mulai dari perbedaan kualitas guru, sarana dan prasarana, keterjangkauan teknologi informasi, serta infrastruktur pendukung. 
 
Meraih pemerataan pendidikan haruslah dimulai dengan meluruskan paradigma pendidikan itu sendiri. Bahwa pendidikan merupakan hak warga negara yang harus diberikan secara optimal oleh negara. Implementasinya, negara harus memastikan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan terwujud secara merata di seluruh daerah. Begitupun tenaga pendidik harus memiliki standar kompetensi tertentu yang seragam di seluruh wilayah. 
 
Mekanisme demikian akan mencegah favoritisasi pada sekolah tertentu karena kualitas pendidikan merata. Hal ini dapat diwujudkan jika pendidikan ditopang oleh sistem ekonomi dan political will yang kuat. Sistem ekonomi yang mapan mampu mewujudkan pemerataan infra dan suprastruktur pendidikan di seluruh wilayah. Sementara political will yang kuat melahirkan penguasa yang memahami tanggungjawabnya untuk melakukan riayah (pengurusan masyarakat) yang menyeluruh termasuk dalam hal pendidikan. 
 
Namun, di alam ekonomi kapitalistik dan politik sekuler demokrasi seperti saat ini, hal tersebut menjadi amat sulit untuk diwujudkan. Pendidikan dianggap sebagai komoditas bisnis. Penguasa tidak memahami tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Sehingga kita dapati saling lempar tanggung jawab dari statement-statement para pemangku kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan pun terkesan gegabah dan tidak menyentuh akar persoalan. Hasilnya, lahir permasalahan baru serta menimbulkan keresahan dan kekacauan di tengah masyarakat. 
 
Islam memenuhi persyaratan dalam mewujudkan sistem pendidikan ideal. Islam memandang bahwa penguasa adalah penanggung jawab utama keberlangsungan hidup masyarakat. Kepemimpinan Islam wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung. Dan syara' telah menetapkan bahwa negara yang secara langsung menjamin pengaturan pemenuhan kebutuhan primer ini (Abdurrahman Al-Maliki, 2001 hal. 186). 
 
Penguasa berkewajiban memenuhi segala keperluan mendasar warga negara seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara optimal. Maka, gambaran pendidikan dalam Islam adalah pendidikan gratis berkualitas yang diampu oleh para pengajar terbaik serta fasilitas penunjang yang lengkap. 
 
Pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh negara didukung dengan politik ekonomi Islam yang kokoh. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Islam memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal).
 
Terdapat dua sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu (1) pos fa'I dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah dan dhariibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
 
Andaikan penerimaan tersebut tidak mencukupi, negara akan mengupayakan segera dengan cara utang tanpa riba. Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan,dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasarna pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya (An-Nabhani, 1990).
 
Karena pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara, maka negara akan memastikan distribusinya terjadi secara merata. Andaikan sistem zonasi diterapkan pun tidak akan menimbulkan masalah karena kualitas pendidikan merata di setiap wilayah. Demikianlah gambaran pendidikan dalam Islam. Hanya saja, hal tersebut takkan pernah terwujud tanpa adanya institusi negara Indonesia yang berkomitmen menerapkan syariat kaffah. Mari wujudkan pendidikan merata dan berkualitas dengan syariah dan kepemimpinan Islam. 
 
Oktavia Nurul Hikmah, S.E. 
Komunitas Sinergi Muslimah, Gresik

latestnews

View Full Version