Oleh:
Fida Hafiyyan Nudiya, S.Pt
“Hargai Nilai UNAS Anak Kami” Begitu bunyi tulisan poster salah satu wali murid yang melakukan unjuk rasa di kantor Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Jawa Timur (20/6/19) lalu. Mereka memprotes kebijakan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan zonasi, yang banyak menimbulkan masalah.
Tidak hanya itu, kegaduhan juga terjadi di Kediri. Dewan Pendidikan Kota Kediri mencurigai banyaknya Kartu Keluarga (KK) titipan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA/SMK di Kota Kediri. Akibatnya, anak warga asli Kota Kediri gagal masuk zona sekolah dekat rumah mereka.
Misalnya, calon peserta didik yang diterima jarak rumah tempat tinggal dengan sekolahnya dibawah 50 meter. Padahal logikanya, sekolah di seputar Jalan Veteran dan Jalan Penanggungan, Kota Kediri, dengan asumsi jarak sedemikian dekat kurang masuk akal. Karena di kawasan tersebut selain sekolah ada perkantoran yang bukan tempat tinggal warga (kompas.com).
Di Ngawi, Jawa Timur, sebuah sekolah negeri terancam ditutup karena minus murid. Jumlah murid yang terdaftar di sekolah itu hanya puluhan sehingga dinas hendak memindahkan siswa-siswa tersebut ke sekolah terdekat. Bahkan banyak siswa SMP yang sudah menitipkan nama di KK kerabatnya setahun hingga dua tahun sebelum masuk SMA. Tidak sedikit siswa yang depresi karena tidak diterima di sekolah negeri yang mereka harapkan.
Tak Menyentuh Akar Masalah
Sejak dahulu, kesenjangan dalam bidang pendidikan masih menjadi permasalahan serius. Berbagai permasalahan yang timbul akibat zonasi ini menunjukkan bahwa solusi-solusi yang diterapkan penguasa tak pernah menyentuh akar masalahnya.
Di luar persoalan kurikulum, akar permasalahan pendidikan adalah pemerataan pembangunan infra dan suprastruktur pendidikan. Banyak sekali sekolah di Indonesia yang belum memenuhi standar kelayakan, seperti atap yang bocor, bangunan sekolah yang rusak, sarana dan prasarana yang belum terpenuhi, dan lain-lain. Seharusnya solusinya adalah memperbaiki paradigma pendidikan dan implementasinya.
Pendidikan idealnya mampu mencetak output generasi berkepribadian islami, yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami berlandaskan Aqidah Islam. Sehingga tidak akan ada siswa yang sering tawuran, gaul bebas, LGBT, dsb. Mereka akan disibukkan dengan menuntut ilmu dan mengkaji Islam.
Sistem pendidikan yang baik juga butuh ditopang kekuatan ekonomi dan kehendak politik (political will) negara, serta sistem-sistem lain yang baik. Misalnya anggaran untuk mengadakan sarana-parasana terbaik yang dibutuhkan, bangunan-bangunan sekolah yang kokoh, juga kurikulum yang mampu mengakomodasi segala kebutuhan siswa dan guru. Sehingga tidak ada istilahnya guru yang tidak tersejahterakan.
Dengan sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik sekuler demokrasi yang diterapkan saat ini, akan sulit mewujudkan sistem pendidikan yang ideal. Hanya dengan penerapan Islam kaffah yang mampu mewujudkan pendidikan yang adil dan merata, dengan output generasi paripurna.*