View Full Version
Kamis, 04 Jul 2019

Ilusi Sistem Zonasi

 

Oleh:

Putri Irfani S, S.Pd

 

 

PENGGUNAAN sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2019 dinilai membuyarkan impian siswa untuk menimba ilmu ditempat yang diinginkan.

Ketua DPD Aliansi Jurnalis Hukum kota Medan, Taufiq Hidayah Tanjung, mengatakan sistem zonasi sangat merugikan peserta didik.

Siswa yang sudah mempersiapkan diri untuk masuk kesekolah  yang diimpikan harus terganjal dengan sistem yang menurut saya tidak baku dari Kementrian Pendidikan," kata dia.

Sehingga dengan sistem zonasi yang sudah diberlakukan sejak tahun lalu, label sekolah favorit dan non favorit sudah tidak berlaku lagi. Sistem ini mengharuskan calon siswa untuk mendaftar di sekolah yang jaraknya paling dekat dengan rumah. Jika jarak rumah siswa dengan sekolah jauh, maka siswa tersebut tidak akan diterima, meski hasil ujian nasionalnya tinggi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyatakan sistem zonasi yang diterapkan Kemdikbud dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah bertujuan untuk pemerataan hak memperoleh pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. (wartaekonomi.co.id, 13/07/2017)

Namun faktanya, penerapan sistem zonasi malah menimbulkan banyak problem. Misalnya saja, penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di tiap kecamatan dan kelurahan, mengakibatkan sebagian sekolah tidak mampu menerima semua siswa yang mendaftar, meski masuk dalam zona. Karena kapasitas yang tidak mencukupi. Mereka yang tidak diterima di sekolah negeri terdekat, harus memilih sekolah swasta. Tentunya ini membuat mereka kecewa, baik peserta didik maupun orangtua yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan sekolah sesuai keinginan, karena adanya pembatasan kuota siswa yang berasal dari daerah bukan sekitar sekolah tujuan. Akhirnya banyak siswa yang memiliki hasil akademis tinggi namun gagal menjadi siswa baru di sekolah unggulan, karena harus rela tersisihkan dengan siswa yang jaraknya lebih dekat dengan letak sekolah.

Di sisi yang lain, dampak dari zonasi ini juga sangat dirasakan oleh sebagian sekolah swasta. Menurut berita, mereka tidak diberi kesempatan untuk mencari siswa. Bahkan, sejak diberlakukan sistem zonasi ini, siswa yang mendaftar jadi sangat sedikit. Belum lagi, terjadinya kecurangan dalam identitas siswa.

Problem yang dialami akibat sistem zonasi ini menunjukkan bahwa kebijakan penerapan sistem zonasi untuk memeratakan pendidikan, bukanlah kebijakan yang tepat. Banyaknya siswa ataupun orangtua lebih  memilih sekolah favorit karena kualitas sarana dan prasarana serta guru-guru yang mengajarnya. Namun hari ini kita tahu bahwa tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana itu.

Adanya label favorit dan non favorit sebetulnya kata lain dari sekolah berkualitas dan sekolah tidak berkualitas. Sehingga untuk memeratakan pendidikan berkualitas, bukan dengan sistem zonasi, melainkan dengan pemerataan sarana dan prasarana serta guru-guru di semua sekolah. Jika sekolah sudah merata dari sisi sarana dan prasarana serta guru-gurunya, maka alaminya, pemerataan pendidikan berkualitas akan terwujud. Tidak harus diberlakukan sistem zonasi, sebab semua sekolah sama saja. Otomatis mereka akan memilih bersekolah yang terdekat dari rumahnya.

Hanya saja, sistem kapitalistik saat ini menjadikan negara senantiasa memiliki paradigma berpikir untung rugi ketika ingin membuat sebuah kebijakan. Sehingga tujuan pemerataan pendidikan berkualitas menjadi satu hal yang sulit diwujudkan. Padahal, ketika negara mandiri mengelola kekayaan alam negeri tanpa bantuan asing dan aseng, pasti  kebutuhan rakyat  akan terpenuhi termasuk dalam hal pelayanan pendidikan. Dengan begini, sebenarnya sistem zonasi bukanlah solusi melainkan hanya sebuah ilusi.*


latestnews

View Full Version