TEPAT pada hari Jumat, 28 Juni 2019 sejumlah pemimpin dunia berkumpul di Osaka, Jepang menghadiri agenda rutin mereka dalam Konfrensi Tingkat Tinggi The Group of Twenty (KTT G20). tak lain untuk membahas gejolak perekonomian dunia yang tengah terjadi, yang akan berdampak pada masa depan negara-negara di dunia. KTT G20 diadakan atas dasar keinginan para pemimpin dunia untuk mencapai reformasi World Trade Organization (WTO) Terutama soal investasi dan perdagangan sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi global. Investasi dan perdagangan menjadi isu sangat penting, karena menyangkut bagian dari kebijakan ekonomi negara-negara anggota G-20 yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara global.
Tak jauh dari visi misi didirikannya G-20 ini, Bermula pada 1998 krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia berdampak pada stabilitas makroekonomi dunia. saat itu, organisasi tujuh negara ekonomi maju atau dikenal sebagai G7 dinilai gagal mencari solusi untuk meredam krisis ekonomi global. Kekecewaan komunitas internasional terhadap G7 melahirkan aksi lanjutan. Negara-negara berpendapatan menengah dan memiliki pengaruh ekonomi sistemik diikutsertakan dalam perundingan internasional guna mencari solusi permasalahan ekonomi global. Pada akhirnya, perundingan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya organisasi organisasi Group of Twenty (G20) pada tahun 1999. G20 merupakan kelompok 20 ekonomi utama yang terdiri dari 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa.
Sejumlah negara yang termasuk dalam anggota G20 antara lain, Indonesia, Amerika Serikat (AS), Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, dan Turki. Selain itu, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Perancis, Rusia, dan satu organisasi regional yaitu Uni Eropa.
Pertemuan ini menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.
KTT G-20 sudah termasuk dalam agenda rutin tahunan negara did unia, indonesia termasuk didalamnya hadir sebagai anggota satu-satunya di Asia Tenggara. konferensi ini sudah lebih dari 10 kali diadakan untuk membahas perekonomian didunia. Indonesia berada pada posisi 16 perbandingan PDB antar negara G-20 serta tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di antara negara G20 pada kuartal I 2019, yakni sebesar 5,07 persen. Indonesia hanya kalah dari China sebesar 6,4 persen dan India sebesar 5,8 persen. Namun itu bukanlah jaminan Indonesia bertahan dalam gerusan ekonomi liberal yang digaungkan dari perpanjangan tangan liberalisasi perdagangan yang digaungkan oleh WTO, dimana Indonesia pun bergabung didalamnya. Indonesia harus bersaing dengan negara-negara maju lainnya yang sejatinya Amerika dan China punya kendali besar atas ekonomi global. Sejauh ini kerja sama serta perjanjian yang dijalankan antar negara maju hanya berdampak buruk atas ekonomi Indonesia di masa depan. kerja sama yang merugikan dan tumpang tindih, membuat Indonesia terus bergantung pada negara lain untuk membangun negeri ini.
Dalam paket kebijakan ekonomi ke-16 yang diluncurkan 16 November 2018, Rezim Jokowi mengizinkan asing menguasai bahkan hingga 100 persen saham di 54 industri. kebijakan inipun tak lepas dari peran pertemuan dunia dalam membahas permasalahan ekonomi, yang berujung pada hengemoni asing untuk semakin menancapkan kekuasannya mengeruk keuntungan atas Indonesia, bahkan 79 persen sumber daya alam dikuasi asing.
“79 persen dunia minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh asing. 43 persen Chevron sendiri. Itulah dulu kita gugat UU Migas. Saya ikut di depan. Melangsungkan jihad konstitusi,” kata Ketua Wantim MUI, Din Syamsuddin, Rabu (21/3/2018), di MUI Pusat, Jakarta.
bahkan kedaulatan Indonesia pun akhirnya dipertanyakan sebab atas kekayaan negara sendiri harus rela tercaplok oleh asing, menurut Din Syamsuddin. Bagaimana kedaulatan negara akan tegak jika kedaulatana atas energi, sumber daya alam dikuasai asing. memang sungguh memilukan negeri tercinta ini harus hidup setelah masa reformasi namun masih menjalaninya sebagaimana masa lalu saat dijajah.
inilah dampak besar atas keberlangsungan hidup dalam liberaliasi perdagangan yang lahir dair sistem ekonomi kapitalisme yang dianut oleh negara-negara hampir diseluruh dunia, yang keduanya adalah komunisme. maka selamanya akan terus merasakan kekangan oleh asing selama bertahan dengan model ekonomi yang seperti ini. namun berbeda sebagaimana dulu saat islam pernah berjaya yang kemudian diterapkan dalam sistem kehidupan yang mengatur permasalahan ekonominya dan mampu menciptakan keadilan yang tidak menjadikan perpecahan antar umat beragama. begitulah sejalan dengan janji Allah dalam firmanNya :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (TQS. Al-A’raf : 96)
Selama 1300 tahun sejarah penerapan syariah dalam sistem Khilafah terbentang luas. Sistem pemerintahan Khilafah mampu menjadikan gereja-gereja besar di bumi Syam masih tegak hingga hari ini. Dengan Khilafah, Umar bin Khatthab menghadirkan sense of justice (rasa keadilan) kepada kelompok minoritas di Mesir.
Bloom and Blair jujur menggambarkan tingginya standar hidup warga Khilafah dengan mengatakan: “In the Islamic lands, not only Muslims but also Christians and Jews enjoyed a good life. They dressed in fine clothing, had fine houses in splendid cities serviced by paved streets, running water and sewers, and dined on spiced delicacies served on Chinese porcelains“. Sementara, kualitas kehidupan di kota Kairo dilukiskan dengan narasi indah: “In the midst of the houses in New Cairo are gardens and orchards watered by wells. In the sultan’s harem are the most beautiful gardens imaginable. Waterwheels have been constructed to irrigate these gardens. There are trees planted and pleasure parks built even on roofs… These houses are so magnificent and fine that you would think that they were made of jewel...”
Adapun soal kesejahteraan dalam Khilafah bukan rahasia lagi. Akbar Shah Khan Najeebadadi (2001) mengungkapkan bahwa pada masa Khilafah Harun al-Rasyid, surplus anggaran negara sebesar 900 juta dinar emas. Bila dikonversi sekarang nilai ini setara dengan Rp 2.535,98 triliun (asumsi: harga emas Rp 663.000/gram/20 Mei 2019). Jumlah yang luar biasa jika dibandingkan postur APBN 2018, di mana pendapatan negara dengan proyeksi hanya Rp1.894,7 triliun.
Maka bergabung dalan G-20 serta melaksanakan program dari WTO tak menjamin Indonesia dapat sejahtera dan mampu bersaing dengan negara maju lainnya, yang ada hanyalah membuat Indonesia semakin langgeng untuk terus dijajah dan dikuasai asing. Andaikata Indonesia kembali kepada sebagaimana Allah menyerukan untuk kembali pada syari’atNya maka keberkahan dari langit dan bumi akan dirasakan, terutama perekonomian yang mensejahterahkan. Wallahu’alam bi shawab.
Andi Putri Marissa, S.E
Relawan Penulis Balikpapan