MASIH menjadi pembicaraan yang hangat, seorang Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono mengusulkan agar pendidikan agama tidak perlu diterapkan di sekolah. Agama yang memadai, masing-masing bisa diajarkan lewat guru agama di luar sekolah. Ia menilai bahwa agama telah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah, dan itu bisa dilakukan jika mapel agama ditiadakan.
Setelah statementnya menimbulkan kontroversi, akhirnya Darmono memberikan klarifikasi bahwa yang dimaksud adalah bukan menghapus pelajaran agama, namun mewaspadai paham agama yang ekstrem masuk ke sekolah atau universitas. Namun, sungguh sangat disayangkan ketika seorang Praktisi Pendidikan memberikan pernyataan demikian. Pasalnya, kita begitu menyadari bahwa kerusakan moral yang terjadi pada generasi muda di kancah pendidikan terjadi karena mereka terlampau dijauhkan dari ajaran agama yang porsinya tidak sesuai dengan alokasi waktu yang banyak ketika peserta didik ada di sekolah.
Saat mapel agama saja diajarkan, siswa masih jauh dari akhlakul karimah, tidak sedikit yang tak paham adab, sehingga tak jarang juga kita mendengar banyak penyimpangan perilaku yang dilakukan siswa seperti berzina, mengkonsumsi narkoba, miras, tawuran, bullying, berkelahi dengan guru, dan segudang permasalahan pendidikan lainnya yang sudah akut terjadi di negara ini. Sangat naif ketika kita mengatakan bahwa itu akibat dari pelajaran agama di sekolah, justru kurangnya porsi pelajaran agamalah yang menjadikan mereka menjadi pribadi yang arogan.
Ketika agama dihapuskan dari pendidikan, dan mengatakan bahwa paham agama ekstrem menjadi ancaman, maka pada saat yang sama siswa dididik berbagai pemahamam sekulerisme, liberalisme, dan ide-ide lain yang bukan dari Islam. Putra-putri negeri muslim dilatih dengan cara Barat, yakni menjadikan ilmu pengetahuan jauh dari penerapan praktis, dan menggantinya dengan pelajaran akademis. Sekulerisasi ilmu pengetahuan sudah menjelma menjadi musuh dalam selimut umat Islam yang menggerogoti keimanan dan identitas umat. Peradaban Islam yang berdasarkan wahyu telah pudar.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Siapakah manusia yang baik dan beradab itu? Maka dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal dengan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya.
Tujuan pendidikan yang telah digariskan syariat Islam adalah untuk (1) membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) secara utuh, yakni pola pikir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah Islam. (2) Menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli dalam jumlah berlimpah di setiap bidang kehidupan yang merupakan sumber manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan peradaban, serta akan membuat negara Islam menjadi negara terdepan, kuat, dan berdaulat sehingga menjadikan Islam sebagai ideologi yang mendominasi dunia.
Output yang akan dihasilkan dari pendidikan Islam adalah generasi yang tunduk, bertakwa, dan taat pada hukum-hukum Allah, bukan generasi yang miskin moralitas, lemah, dan tidak memiliki ghirah agama. Tujuan pendidikan seperti ini hanya bisa diwujudkan melalui penerapan Islam secara kaffah. Wallahu a'lam bisshawab.*
Indri Lestari, S. Pd
Pengajar