JARGON “Pajak Kita, Untuk Kita” seakan menggambarkan pembebanan pajak oleh rakyat itu dikembalikan untuk kemashlahatan rakyat. Apa benar begitu? Faktanya, melalui pajak biaya pengeluaran rakyat semakin tinggi. Harga barang meningkat karena didalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenai pajak. Ada pajak penghasilan, pajak badan/ usaha perdagangan, pajak ekspor-impor, pajak pertambahan nilai, dan lain-lain. Wal-hasil kondisi ekonomi rakyat bak slogan “besar pasak dari pada tiang”. Hal itulah yang dirasakan rakyat kini.
Pemasukan yang minim ditambah beban pajak yang memperbesar pengeluaran mereka membuat hidup semakin mlarat. Pajak semakin menghisap ekonomi rakyat di hampir semua sektor kehidupan. Mulai dari membeli barang di supermarket, minimarket sampai warung nasi bungkus dan pempek pun dikenai pajak sebesar 10 persen. Dan ketika depot atau warung tersebut tidak membayar pajak, maka akan mendapat SP dan berujung pada pencabutan badan izin usaha (sumber: geloranews/ 07072019). Lagi-lagi rakyat dipaksa untuk tidak bisa menghindari dari pajak.
Kemashlahatan pajak sebenarnya hanya dirasakan oleh negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Bagaimana tidak, bagi negara ini pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara. Sehingga sekecil apapun sebuah barang bagaimana caranya menjadi sumbangsih pendapatan bagi negara. Pajak sendiri merupakan sebuah kedholiman terhadap rakyat yang dibungkus dengan jargon manis.
Sehingga negara merasa berhak mengambil harta rakyat yang sejatinya bukan miliknya dengan legalisasi aturan yang mereka buat sendiri. Padahal Islam melarang seluruh bentuk pungutan kecuali memiliki legalisasi syar’i yaitu berdasarkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S Al-baqarah ayat 188
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Berdasarkan dalil di atas jelas bahwa Islam mengharamkan pungutan yang tidak ada dasar hukum (legalisasi) sya’i. Di dalam sistem ekonomi Islam, pendapatan utama negara Islam (khilafah) bukanlah dari memalak harta rakyat melalui pajak. Namun pendapatan negara di dapat dari pengelolaan SDA yang dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat dan mengharamkan jajahan asing atau privatisasi swasta atau individu jika harta itu menjadi kepemilikan umum yaitu rakyat. Selain itu dari aktivitas jihad fi sabilillah mampu menghasilkan (ghonimah, fa’l, kharaj), dan sumber pemasukan negara yang lain seperti jiyzah, zakat, shodaqah, dan lain-lain.
Begitu kuatnya negeri-negeri muslim jika bersatu kekuatan dalam satu kepemimpinan Islam (kekhilafahan Islam) mengingat potensi kekuatan ekonominya saja mampu mengentarkan musuh negara adidaya kapitalis satu-satunya hari ini seperti AS. Tidak heran AS sangat serius dan getol dalam menjegal kebangkitan peradaban Islam dan persatuan global negeri-negeri Muslim dalam khekhilafahan Islam yang pasti akan mengancam eksistensi penjajahan ekonomi, politik, dan lain-lain atas negeri-negeri muslim. Wallahu a’lam bi ash-shawab.*
Ririn Hidayati
Praktisi Pendidikan