INDONESIA negeri yang kaya dengan beragam kuliner nikmat. Salah satunya yaitu pempek (empek-empek). Kuliner khas dari Sumatera Selatan ini hampir bisa ditemukan dengan sangat mudah di kota Palembang. Mulai di pinggir-pinggir jalan hingga restoran berkelas.
Namun ironis, ditengah geliat penjual pempek mencari kepingan rupiah, pemerintah dengan zalimnya memberlakukan pajak untuk pempek. Usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian pempek, baik makan ditempat maupun bungkus akan dikenakan pajak 10 persen. Dikutip dari Gelora.co (7/7).
“Pendapatan mereka setiap hari kita tahu data kongkritnya, jadi nominal pajak yang kita terima valid”, kata Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Sulaiman Amin usai memantau pemasangan e-tax di Rumah Makan Pindang Simpang Bandara Palembang. (Minggu, 7/7/2019). Menurut Sulaiman, untuk pembelian pempek yang dipaket atau dibungkus akan dikenakan pajak. Sebab pajak dari sektor pempek sangat besar. Hanya saja selama ini belum digarap secara maksimal.
Tak cukup memalak penjual pempek, sasaran rezim selanjutnya adalah tarif cukai plastik dan bea materai. Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan rencana pengenaan cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ia pun optimis penerapan cukai kantong plastik bisa dilakukan tahun ini. Dikutip dari cnbcindonesia.com (2/7)
Sebenarnya, Indonesia mempunyai sumber pendapatan lain yang jauh lebih besar dibandingkan menarik pajak dari para penjual. Dan sektor ini belum digarap dengan optimal. Misalkan saja, Indonesia memiliki emas kualitas terbaik di dunia. Secara kuantitas, emas di Papua merupakan tambang emas terluas dengan produksi terbanyak per tahunnya. Namun sayangnya, produksi emas di Papua masih dikuasai Freeport Mc Moran asal Amerika.
Dikutip dari detikfinance, 14/7/2018. Nilai kekayaan yang dikeruk Freeport sangat besar. Pajak Freeport sekitar Rp.103 trilyun. Menurut Menkeu, penerimaan ini masih bisa lebih besar.
Bagaimana dengan migas?. Di Indonesia ada sekitar 276 blok migas yang dikuasai pihak asing. Ini menunjukkan bahwa negeri ini masih dijajah oleh pihak asing. Walaupun penjajahannya tidak dalam bentuk fisik (peperangan). Namun penjajahannya dalam bentuk menguasai SDA.
Inilah bukti nyata, betapa rezim yang berkuasa sudah mendzalimi rakyatnya. SDA yang melimpah ruah tidak dikelola untuk mensejahterakan rakyat. Namun, rezim justru memilih menarik pajak dari para penjual yang tidak seberapa. Dibuatlah sejumlah kebijakan untuk melegitimasi aksi penguasa. Seakan-akan tindakan penguasa adalah tindakan yang sah-sah saja dilakukan. Rezim dengan mudahnya merampas hak masyarakat, dan mendadak amnesia dengan amanahnya mengurus urusan masyarakat.
Mengapa kekayaan alam Indonesia bisa dengan mudah dikelola pihak asing?. Ini terjadi karena sistem kapitalis yang mencengkram negeri ini. Sistem ekonomi kapitalis memberikan peluang pada perusahaan swasta dan asing untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari SDA yang dimiliki suatu negara, melalui pemberian izin konsesi pertambangan dan hak istimewa lainnya. Akibatnya keuntungannya tentu lebih banyak dinikmati pihak asing dibanding rakyat Indonesia sebagai pemilik SDA.
Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna sudah mengatur terkait pengelolaan SDA. Rasulullah saw bersabda “Umat Islam berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara : air, padang rumput, dan api”. (HR.Abu Dawud).
Sebagai pemilik, maka seluruh rakyat seharusnya bisa menikmati hasil dari SDA tersebut. Karena itu, negara wajib mengelola SDA sebaik-baiknya dan hasilnya dikembalikan pada rakyat. Bisa dalam bentuk berbagai fasilitas yang dinikmati dengan gratis atau harga yang terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat.
Bagaimana dengan pajak?. Dalam sistem kapitalis, pajak menjadi pendapatan utama negara. Ini berbeda dengan Islam yang mempunyai syariat yang khas untuk mengatur pendapatan negara. Dalam Islam, ada Baitul Mal yang merupakan pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum Muslim. Sumber pemasukan Baitul Mal diantaranya adalah fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah, khumus, rikaz, tambang, serta zakat. Hanya saja harta zakat khusus untuk delapan kelompok (ashnaf) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Adapun pajak, maka Islam tidak membolehkan pajak yang dipungut secara dzalim. Kalaupun ada pajak, maka hanya dipungut dari orang yang masuk kategori kaya dan sifatnya hanya sementara sampai kebutuhan dana terpenuhi.
Sudah saatnya kita kembali pada syariat Islam secara kaffah. Dengan Islam, maka negara bisa optimal dan mandiri mengelola SDA yang dimiliki. InsyaAllah negarapun bisa memperoleh pendapatan dalam jumlah yang besar. Sehingga tidak perlu lagi mengais-ngais recehan dari rakyatnya. Karena dengan syariat Islam kaffah, akan terwujud negara yang sejahtera, mandiri dan berpengaruh, InsyaAllah.*
Dahlia Kumalasari S.E.
Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur