Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Beberapa waktu lalu, konon disebutkan bahwa pers atau media sering disebut sebagai "pilar keempat" demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sebagai pilar keempat posisinya di luar sistim politik formal yang memiliki posisi sangat strategis yang salah satu di antaranya adalah sebagai Alat Kontrol Sosial (AKS)
Diakui atau tidak, seiring dengan dinamika perkembangan sosial dan politik negeri ini, kini peran media sebagai AKS dipertanyakan. Memang, tidaklah mudah dinafikan oleh siapa pun bahwa sangat terasa media-media mainstream umumnya kini semakin menunjukkan keberpihakannya. Betapa pun upaya tersembunyi, tapi orang awam pun dengan mudah membaca arah keberpihakan media.
Oleh karena peran dan fungsi sebagai "pilar keempat" yakni sebagai AKS dirasakan sudah tidak pada relnya lagi bahkan cenderung hanya sebagai corong penguasa, maka kini pada era digitalisasi kekinian muncul "pilar kelima" lewat media sosial (medsos).
Jangan dianggap sepele pengaruh kekuatan "pilar kelima" ini. Karena melalui pilar ini telah muncul "Gerakan Matikan TV" kepada seluruh pengguna medos. Artinya, jika hal ini benar-benar terjadi maka masyarakat akan lebih enjoy komunikasi lewat pilarnya ketimbang harus buang waktu menyaksikan tayangan-tayangan dari media pro penguasa.
Akankah kondisi semacam ini tetap dibiarkan? Jika dibiarkan, lalu timbul pertanyaan, disimpan di mana idealismemu wahai para awak media yang konon berperan sebagai AKS?