Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Memasuki musim haji semakin dekat waktu untuk pemotongan hewan. Iedul adha atau lebaran haji. Kini baik di lapangan maupun melalui media sudah mulai marak penawaran hewan baik kambing maupun sapi.
Di Saudi biasanya kambing dan unta. Syariat berkurban menjadi wajib hukumnya bagi yang mampu. Untuk sapi atau unta dapat "patungan" tujuh orang sedang kambing cukup seorang saja.
Sapi memang hewan potong dan Allah pernah perintahkan memotong bukan hanya pada Muslim tapi juga Yahudi sebagai sanksi atas dosanya. Itulah yang kemudian menjadi sebab Surat Qur'an diberi nama "Al Baqarah" (Sapi betina). Menggambarkan karakter Yahudi yang curang, banyak bohong, selalu cari cari alasan, dan pembangkang dan dengan sifat "ngeles" nya maka ia mempersulit diri. Nyaris gagal menjalankan perintah-Nya.
Dalam hadits Nabi mengingatkan umat akan hancur berantakan jika "tabi'u adznabal baqar" (ikut buntut sapi) yakni mengikuti kepemimpinan model sapi. Tidak peduli dan masa bodoh meski pemimpinnya itu bodoh atau tidak punya inisiatif "seperti kerbau dicocok hidung". Planga plongo.
Politik dagang sapi berkonotasi negatif. Tawar menawar untuk bagi bagi kursi. Melalui proses lobi, negosiasi atau rekonsiliasi.
Sejarah istilah "politik dagang sapi" konon berasal dari salah satu suku. Dimana dahulu etika berdagang sapi dalam tawar menawar itu dirahasiakan. Kedua pihak di bawah pohon rindang saling menautkan jemari, membuat sinyal harga tawar. Menutup diri dengan sarung. Nyaris tak ada orang tahu. Apa pembicaraan dan berapa harga kesepakatan. Sapi nya pun tak tahu bahwa dirinya sedang dibahas.
Kini kerahasiaan pembahasan "dagang sapi" dalam politik tetap terjaga, rahasia, bahkan misterius. Tahu tahu kursi sudah terjual apakah Menteri, Komisaris, atau Duta Besar.
Menjelang pelantikan Presiden yang sukses "memenangkan" Jokowi maka untuk memperkokoh dukungan baik internal maupun lawan dilakukan pendekatan-pendekatan. Tentu dalam rangka penguatan basis koalisi maupun penaklukan perlawanan.
Sarana yang paling efektif adalah politik dagang sapi. Koalisi Prabowo Sandi digoda dengan jatah jatah. Partai mulai berfikir keuntungan diri untuk memperbesar porsi. Dipilih rakyat sudah, karenanya kini rakyat tak menentukan lagi. Begitu kilahnya. Rakyat dilepaskan dan cukup menonton hasil. Toh dagang sapi berjalan di balik sarung dengan jari jemari yang saling bertaut tanpa diketahui.
Ketika politik dagang sapi dominan maka bukan hanya oposisi yang dihancurkan tetapi juga demokrasi dan ideologi. Kedaulatan rakyat diambil alih oleh segelintir orang orang yang mengatasnamakan telah dipilih oleh rakyat. Penyusunan kabinet dan penataan pemerintahan baru adalah momen masa bodoh terhadap aspirasi.
Yang ada dan ramai adalah pergulatan kepentingan antar pribadi dan partai. Kabinet kerja yang digadang gadang prakteknya hanya menjadi kabinet kerjaan. Jadi jadian dan gaya gayaan. Palsu dan tak bermutu. Menteri menjadi wakil "pencuri" untuk kepentingan partainya sendiri.
Hikmah kurban dengan memotong hewan antara lain adalah memotong karakter hewan yang melekat pada diri insan. Dalam politik ada dua karakter yang harus dieliminasi yaitu "dagang" dan "sapi".
Jika berpolitik dengan berwatak pedagang maka semua dijual jual dari aset negeri sampai harga diri. Jika berpolitik berwatak sapi maka tak ada yang dikreasi selain diperah atau menjadi "pembajak" sawah rakyat. Dikendalikan pemodal jahat yang tak bisa melihat.
Sembelihlah di iedul adha nanti kambing domba atau sapi. Potonglah karakter pemimpin pengadu domba dan pembajak suara. Moga Allah ridha.