Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Pertemuan Lebak Bulus Jokowi dan Prabowo menuai pro dan kontra dari kedua pendukung. Pendukung Jokowi relatif hangat atau adem. Pendukung Prabowo yang terbelah sikap ada yang mendukung, memahami, menanti dampak, serta ada pula yang menentang dengan kekecewaan tinggi.
Pada sikap mencoba memahami dan membela berbagai argumen dikemukakan dari mulai strategi hingga mengaitkan dengan kesejarahan Nabi, yaitu Perjanjian Hudaibiyah.
Ada rasa kurang sreg mengaitkan pertemuan Lebak Bulus dengan peristiwa penting kenabian ini. Alasan utama tentu bagi Nabi semua keputusannya dibimbing wahyu. Kebenaran ilahiah tersurat dan tersirat di dalamnya.
Hal lain yang menjadi "sebab" tidak layak dikomparasikan adalah :
Pertama, kaum Muslimin yang bergerak untuk menunaikan ibadah umroh dari Madinah menuju Baitullah dalam keadaan kuat dengan persenjataan lengkap. Berbeda dengan posisi "kekuatan" Prabowo yang tak siap. Kocar kacir di peristiwa 22 Mei dan pukulan berturut turut di Bawaslu, KPU, MA dan terakhir MK. Meski mencoba kasasi MA kedua dan konon ke MI tapi dalam posisi yang pesimistis dan kurang percaya diri.
Kedua, Perjanjian Hudaibiyah memunculkan tekad tempur "Bai'atur Ridwan" yakni siap untuk berperang melawan Quraisy karena mereka menyandera utusan muslim Ustsman bin Affan. Dalam kaitan pertemuan Lebak Bulus tidak ada tekad apa apa, hanya emak emak yang datang sebelumnya meminta Prabowo untuk tidak berekonsialisasi.
Ketiga, pertemuan Lebak Bulus hanya pertemuan bukan "perjanjian" karenanya tidak mutatis mutandis. Adapun Hudaibiyah adalah sebuah perjanjian yang berakibat hukum. Reaksi Muslim sangat wajar karena menilai "isi" perjanjian yang "merugikan" rombongan dan umat beriman. Adapun reaksi terhadap pertemuan adalah "tagihan terhadap komitmen" untuk melawan kecurangan yang digemborkan dan diperjuangkan Prabowo dengan "wasiat" dan siap "mut syahidan".
Keempat, Perjanjian Hudaibiyah adalah bagian dari perjalanan kepemimpinan "profetik" dengan standar leadership dan followership yang berkualitas imani. Adapun pertemuan Lebak Bulus adalah perjalanan kepemimpinan "demokratik" dengan otoritas pengikut berdasarkan asas "kerakyatan" sehingga di antara keduanya memiliki dimensi yang berbeda. Yang pertama penegakkan ibadah agama, sedangkan yang kedua adalah perjuangan menegakkan kedaulatan rakyat.
Kelima, keraguan dan pembangkangan pengikut segera selesai dengan "tindakan nyata" percontohan Nabi dengan aksi nyata Nabi sendiri ber"tahalul" mencukur. Lalu diikuti dan selesai. Dalam "pertemuan gerbong" Lebak Bulus penolakan atau kekecewaan tersebut tanpa ditindaklanjuti langkah konkrit Prabowo yang menenangkan atau meyakinkan.
Inti dari semua adalah baiknya kita gunakan argumentasi rasional dan strategis yang memberi kesabaran dan keyakinan menuju kemenangan perjuangan. Hudaibiyah terlalu jauh sebagai hujjah. Malah bila salah salah bisa menyalahkan Hudaibiyah padahal kekeliruan langkah yang tak mulus itu adalah pada peristiwa Lebak Bulus.
Kita tentu masih berharap ada hikmah dari pilihan langkah menuju keberhasilan perjuangan. Tapi jangan melegitimasi dengan dalil sejarah yang terlalu jauh, yaitu perjuangan kenabian. Terlalu naif menyetarakan Perjanjian Hudaibiyah dengan pertemuan Lebak Bulus. Sama saja menyetarakan Dinosaurus dengan Katak kurus.
Ini saja kok masalahnya.