Oleh:
Isna Yuli
Women Movement Institute
SEOLAH negeri ini telah kehabisan sumber daya alam untuk operasional negara. Hingga negara berencana mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tak lazim bagi negara kaya seperti Indonesia.
Diantaranya wacana pengenaan cukai pada plastik yang tengah digodok oleh pemerintah. Namun, meski sekedar wacana, hal ini telah menuai pro dan kontra dibeberapa kalangan terutama kalangan industri. Pemerintah telah mengusulkan besaran tarif cukai plastik adalah Rp 30.000 per Kg dengan asumsi 1 Kg terdiri dari 150 lembar plastik.
Meskipun demikian usulan tersebut belum disetujui oleh Komisi XI DPR RI yang masih ingin melakukan pendalaman lebih lanjut. Dari kebijakan tersebut pemerintah mengklaim bahwa kebijakan itu dalah sebagai titik tengah antara kelestarian lingkungan hidup dan keberlangsungan industri plastik di Tanah Air. Tidak dipungkiri bahwa hasil pungutan cukai plastik ditargetkan bisa menjadi penerimaan baru bagi negara.
Disisi lain, Industri pengguna plastik mempertanyakan sikap pemerintah yang berkeras memberlakukan cukai atas kemasan plastik mulai 2017 karena dinilai kontraproduktif terhadap penerimaan negara. Pungutan cukai atas kemasan plastik juga tidak akan berdampak positif pada penerimaan pemerintah. Penerimaan negara justru terganggu karena pengenaan cukai atas kemasan plastik akan menekan kinerja industri pengguna plastik. Pungutan cukai atas kemasan plastik tidak akan efektif karena pemerintah tidak memiliki sistem dan sumber daya untuk mengawasi industri plastik dan peredaran barang berkemasan plastik. (http://www.kemenperin.go.id/artikel/16188/Industri-Pertanyakan-Kebijakan-Cukai-Plastik).
Selain wacana cukai plastik, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan kepada DPR perubahan bea materai menjadi satu harga yaitu Rp 10.000 per lembar. Saat ini bea materai terbagi dua harga yaitu Rp 3.000 dan Rp 6.000 per lembar. Dan alasan yang sama diutarakan Kemenkeu dalam kenaikan bea materai adalah untuk kenaikan penerimaan negara.
Mencermati kebijakan pemerintah tersebut, kita perlu fahami bahwa dalam konteks negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis, pajak adalah pos pendapatan pertama dan sumber utama pendapatan negara. Lihat saja disekitar kita, hampir semua barang pribadi kita pembelian maupun pemeliharaannya kena pajak. Artinya roda kehidupan negara bertumpu pada hisapan pajak dari rakyat.
Lantas, kemanakah larinya kekayaan negeri yang melimpah ini? Hasil tambang, minyak bumi, kayu, ikan, air, dan lain sebagainya semua itu hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha dan konglomerat serta pihak asing yang saling bekerjasama dengan penguasa atas dasar swastanisasi dan privatisasi. Bukannya mengelola Sumber Daya Alam (SDA) secara mandiri untuk kepentingan negara, malah justru rezim berlomba menambah utang guna mendanai kepentingan rakyat. Sedangkan kekayaan alam negeri sendiri diberikan kepada pihak asing. Dan parahnya rakyatlah yang menanggung beban finansial negara beserta utang plus bunganya.
Jeritan rakyat tak lagi didengar, sebab penguasa sudah bersepakat dengan pengusaha, suara rakyat hanya digunakan sebagai legitimasi menduduki tampuk kepemimpinan. Selanjutnya, rakyat jugalah yang menanggung semuanya.
Langkah besar harus segera dilakukan oleh bangsa ini jika ingin menyelamatkan diri keluar dari cengkraman kapitalis. Hal yang paling utama adalah menghentikan dan memutus segala kerjasama yang berkaitan dengan SDA yang tak terbatas dengan pihak swasta maupun asing. Dengan demikian semua yang kita miliki segera dikelola secara mandiri oleh negara, hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Jika dari semua SDA yang kita miliki belum mampu memenuhi kebutuhan negara, maka barulah negara berfikir untuk menarik pajak dari rakyat. Namun bukan seperti wacana pemungutan pajak yang berkembang saat ini, dimana semua barang kena pajak. Hanya orang-orang tertentu dan benda-benda tertentu sajalah yang terpajaki.
Penulis meyakini dari hasil kekayaan SDA saja Indonesia mampu menghidupi dan menjalankan negara tanpa perlu berhutang dan memalak rakyat dengan berbagai pajak yang tak masul akal.*