Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Kritik kita adalah hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ini sering berkaitan juga dengan ikut campurnya kekuasaan dalam "mengatur" hukum dengan menggunakan pengaruh politiknya.
Ketika hukum dijalankan seoptimal mungkin maka dengan motif politik kuat bisa juga dilabrak oleh akal politik lain yang berdimensi hukum pula. Presiden punya hak itu yang bernama Grasi.
Kasus terbaru yang menggambarkan dengan cepatnya hukum dipermalukan dan dilecehkan dengan "buldozer" politik adalah dibebaskannya warga negara Kanada Neil Bantleman eks guru Jakarta Internasional School (JIS) yang dihukum melakukan tindak pidana pelecehan seksual kepada murid muridnya.
Padahal Mahkamah Agung baru saja menolak Kasasi yang bersangkutan bahkan memperberat hukuman menjadi 11 tahun. Begitu juga ketika melakukan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung kembali menolaknya. Namun ketika meminta Grasi kepada Presiden, maka Presiden Jokowi mengabulkannnya dengan mengeluarkan Kepres No 13/G tahun 2019. Maka bebaslah Neil Bantleman. Kini ia sudah berada di Kanada kembali.
Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoly dan Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan alasan pemberian Grasi semata kemanusiaan.
Namun Moeldoko menambah dengan adanya aspirasi publik "Presiden sensitif dengan aspirasi publik". Tidak jelas publik mana yang menghendaki pembebasan atau menyampaikan aspirasinya. Pemberian Grasi hingga bebasnya Neil tentu ditanggapi kekecewaaan orang tua korban dan Komisi Nasional Perlindungan (Komnas PA).
Menurut Komnas PA pemberian Grasi menggambarkan Presiden di samping tidak melindungi anak juga bertentangan dengan UU No 22 tahun 2002 tentang Grasi. UU mensyaratkan pengakuan bersalah yang bersangkutan, namun Neil sejak awal hingga Grasi diberikan tetap tidak mengakui kesalahannya.
Sekali lagi kita dipertontonkan pertunjukan pelemahan hukum oleh kebijakan "politik" sekaligus diskriminasi hukum. Grasi diberikan untuk "orang asing" dan tidak terbayangkan dapat diberikan andai yang dihukum atas delik pelecehan seksual kepada murid ini adalah "orang asli" Indonesia. Akhirnya kita coba beranggapan bahwa aspirasi publik yang dimaksud oleh Moeldoko adalah "aspirasi asing".
Berbeda saat akan dilakukan pembebasan pada orang yang sudah sangat tua, lemah dan sakitan Abu Bakar Ba'asyir yang gembor gembonya demi kemanusiaan namun karena "aspirasi asing" maka akhirnya orang tua pribumi ini tetap mendekam di penjara. Kemanusiaan itu tergantung kemauan politik dan tekanan juga. Hukum memang rentan untuk dilecehkan.
Neil Bantleman yang melenggang dan berkoar koar di negaranya adalah tontonan dari wajah hukum Pemerintahan kini yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Tunduk pada kepentingan asing.
Cermin negeri yang hidup tergantung dan berorientasi pada asing. Neil tidak ada hubungan dengan hambatan investasi Pak Presiden.