View Full Version
Sabtu, 20 Jul 2019

Film Dua Garis Biru, Potret Buram Tontonan Zaman Now

"Dua Garis Biru" saat ini menjadi film bioskop yang sedang ramai dibicarakan. Pasalnya, film ini sempat menuai protes dari beberapa pihak pasca dirilisnya teaser trailer 1 bulan yang lalu sebagai bentuk promosi. Salah satunya adalah petisi yang digagas Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (GaraGaraGuru) agar film bergenre romansa remaja yang masih dalam tahap editing ini dikritisi ulang sebelum diloloskan sensor. Namun, ternyata film ini tetap lolos sensor dan telah ditayangkan serentak di seluruh bioskop di Indonesia sejak tanggal 11 Juli lalu.

Beberapa pihak melihat bahwa film ini bermuatan seks edukasi. BKKBN misalnya, telah mengadakan acara nonton bersama dengan John Hopkins Center for Communication Program (JHCCP) dan Forum Genre Indonesia (FGI) bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya remaja terkait kesehatan reproduksi, penyiapan kehidupan berumah tangga dan penyiapan kehidupan bermasyarakat akan pentingnya kualitas SDM.

Dari sisi BKKBN, film ini dianggap jadi media untuk menyebarkan kesadaran tentang perilaku berisiko remaja yang menjadikannya rentan mengalami pernikahan di usia dini, kehamilan tidak diinginkan dan terinfeksi penyakit menular seksual sehingga aborsi yang tidak aman (detikNews.com). Jika pendapat perwakilan BKKBN tersebut dilihat dari sisi sudut pandangan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) maka itu bermakna positif. Dinilai mampu memberikan edukasi.

Namun, berbeda saat kita menempatkan Film "Dua Garis Biru" tersebut dengan standar Islam, yang notabenenya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam tentunya film tersebut dinilai merusak generasi muda. Sebab, dalam film tersebut mengandung propaganda liberalisme (paham kebebasan). Di film ini “DUA GARIS BIRU” menceritakan tentang kisah cinta di masa SMA. Namun hubungan antara pasangan anak laki-laki dan anak perempuan itu cenderung menampilkan Pacaran di Luar Batas. Bahkan sampai-sampai si anak perempuan itu hamil di luar nikah. Dipandang lumrah seorang wanita dan laki-laki yang bukan mahrom menjalin hubungan haram pacaran, ikhtilat hingga zina. Padahal sejatinya manusia telah Allah berikan potensi pada dirinya yaitu berupa naluri berkasih sayang (gharizah nau'). Sehingga tanpa harus diberikan tontonan seks edukasi pun, mereka mampu menjalankan tugasnya dengan naluri tersebut melalui jalur halal pernikahan.

Yang ada justru dari tontonan yang demikian, akan membuat para remaja berpikir bagaimana melakukan seks sehat dengan pasangan haramnya (kekasih) agar tidak hamil.

Apakah dengan adanya berbagai judul film dengan genre gaul bebas ini bisa menangkal fenomena gaul bebas di masyarakat? Sepertinya tidak. Justru para penonton yang remaja atau yang bukan remaja merasa penasaran dengan adegan-adegan dewasa yang di pertontonkan. Mereka penasaran ingin mencobanya dan berharap happy ending dengan tanggung jawab dari pihak lelaki. Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (GaraGaraGuru) agar film bergenre romansa remaja yang masih dalam tahap editing ini dikritisi ulang sebelum diloloskan sensor. Menurut mereka, ditinjau dari beberapa adegan dalam teaser, ada pesan implisit yang ingin diberikan kepada penonton dan dinilai bisa merusak generasi muda. Seperti penggambaran sepasang remaja berduaan di dalam kamar.

Jika kita membaca sinopsis dari film dua garis biru ini, jelas tergambar bahwa film ini memberi pesan kepada penonton bahwa hamil di luar nikah adalah masalah biasa asal si laki laki bertanggungjawab. Hamil diluar nikah tidak lagi menjadi hal yang tabu karena seks bebas adalah sebuah kewajaran dilakukan oleh muda mudi yang pacaran. Dalam film ini, sudut pandang agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi sebuah perbuatan.

Kita mungkin akan tercengang ketika mengetahui bahwa film ini dianggap sebagai sarana untuk edukasi seks. Pasalnya, edukasi seks yang telah dilakukan di lembaga pendidikan saat ini nyata tidak memberikan efek yang berarti untuk mencegah peningkatan seks bebas di kalangan remaja. Bahkan, secara nyata hari demi hari seks bebas semakin merebak di kalangan remaja kita, dengan segunung problematika ikutan akibat seks bebas ini semakin mengkhawatirkan. Jika dicerna lebih lanjut,  edukasi seks yang ada selama ini justru memunculkan solusi-solusi pragmatis yang dianggap legal oleh remaja.

Jika kita mau berfikir  lebih mendalam  tentang film garis biru ini, maka jelas  tergambar bahwa film ini memberi pesan kepada penonton bahwa berpacaran boleh saja asal tidak sampai kebablasan. Kemudian, misal sudah kebablasan dan si cewek hamil maka tidak menjadi masalah asal si laki-laki mau bertanggung jawab. Maka ditonjolkan bagaimana atas nama cinta seolah kondisi apapun tidak menyurutkan kesetiaan dua sejoli. Hingga kemudian  hamil di luar nikah tidak lagi menjadi hal yang tabu karena seks bebas adalah sebuah kewajaran dilakukan oleh muda mudi yang pacaran.  

Nampak nyata bahwa dalam film ini, sudut pandang agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi sebuah perbuatan. Terlebih Indonesia adalah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam seolah dituntun untuk tidak lagi menggunakan Islam sebagai syariat yang mengatur tata kehidupan dan digiring untuk mau menerima pandangan dari kebanyakan masyarakat. Jika masyarakat tidak menganggap hal tabu atau asusila maka boleh-boleh saja berpacaran, seks aman, hamil di luar nikah, dst.

Film sejenis ini bukan pertama kali dirilis bahkan sudah berkali-kali seperti “Virgin”, Ku Cumbu Tubuh Indahmu beberapa waktu lalu dan semacamnya. Inilah potret buram tontonan bergenre remaja zaman now. Tidak ada edukasi malah menjerumuskan remaja. Film yang dibuat sebenarnya tidak bertujuan mengedukasi malah cuma mencari profit dan menghancurkan remaja. Dan ini adalah target dari para elite kapitalis yang ingin menguasai dunia dengan merusak generasi muda apalagi dengan bonus profit yang begitu menggiurkan bagi mereka. Karena konsep ekonomi kapitalis adalah supply and demand.

Lalu bagaimana Islam memandang film? Apakah film dibolehkan dalam Islam. Sebagai karya seni, film adalah salah satu produk seni berupa gambar visual dan suara. Pada dasarnya, mubah saja membuat atau menikmati karya seni selama tidak ada unsur yang diharamkan didalamnya. Ketika institusi Islam tegak, sangat dimungkinkan menggunakan film sebagai sarana propaganda untuk menyebarkan aqidah dan ide-ide Islam. Apalagi di abad 21 ini. Kecanggihan efek animasi dalam sebuah film yang mempropagandakan Islam akan semakin memberikan pengaruh yang besar bagi penonton film. Propaganda ide ide Islam akan lebih diterima oleh masyarakat. Jadi, sudah saatnya kita berjuang menghapus fenomena gaul bebas bukan dengan membuat dan menonton film-film bernada gaul bebas. Tapi dengan mengkaji islam, memantapkan akidah, mengokohkan pondasi keimanan, mengamalkannya, dan menyebarluaskannya pada yang lain. Wallahu'alam bish shawab.*

Fitriani, S.Sos

Tinggal di Kota Amuntai, Kalimantan Selatan


latestnews

View Full Version